Senin, September 01, 2008

Korupsi Milik Kita Semua


OLEH. Emha Ainun Najib

Sangat tidak mudah mengambil keputusan apakah korupsi adalah milik para koruptor ataukah milik kita bersama. Juga tidak gampang mengukur kadarnya sebagai “penyakit sistem” (struktural), sebagai “penyakit manusia”, atau “penyakit budaya” suatu masyarakat yang berada dalam sistem yang sama. Ia sangat cair, seakan-akan merupakan serbuk yang rata menabur, atau bagaikan asap halus yang tak kasat mata, sehingga tidak bisa serta merta bisa disimpulkan bahwa perilaku korupsi adalah semacam anomali atau penyakit khusus yang berlaku pada sejumlah orang, ataukah ia memiliki “infrastruktur” budaya yang memang mendarah daging secara lebih menyeluruh pada kehidupan masyarakat kita.
Darah daging itu bisa jadi tak hanya berskala budaya atau kebudayaan, bisa jadi ia sudah merupakan peradaban. Terutama apabila disepakati bahwa korupsi materiil hanyalah salah satu output “kecil” dari dasar-dasar jiwa korupsi yang juga bisa menemukan manifestasinya pada perilaku lain, pada pola berpikir, cara pandang, cara memahami, cara merasakan, bahkan cara memahami dan melaksanakan iman. Tak pernah berhenti kita bertanya: di kedalaman jiwa manusia, apakah korupsi itu peristiwa mental, peristiwa ilmu, peristiwa akhlak, peristiwa iman, atau apa?


Kalau sudah sampai ke kompleksitas itu, kita yang di panggung berteriak “Wahai Kaum Koruptor…” tidak otomatis kita sendiri bukan koruptor. Atau kekhusyukan seseorang dalam beribadah, status mulia seseorang dalam kegiatan keagamaan, citra bersih seseorang dalam imaji publik – tidak serta merta mengandung arti bahwa yang bersangkutan berada di luar lingkaran, jaringan dan sistem korup. Bahkan kita yang bertugas memberantas korupsi, perlu mengaktifkan terus menerus kewaspadaan diri untuk menjamin bahwa dalam berbagai konteks dan nuansa itu langkah-langkah kita benar-benar bebas dari potensialitas korupsi. Apalagi sejumlah pagar eksternal atau internal yang tak selalu bisa kita atasi membuat langkah-langkah kita tampak di mata orang lain sebagai “tebang pilih”.

Teknologi Eksternal dan Teknologi Internal
Saya ingin menyebut sebuah term: “Teknologi Internal”. Ada jenis manusia atau masyarakat yang kecenderungannya adalah “mengelola dunia luar” dan itu kita sebut “Teknologi Eksternal”. Ada jenis manusia atau masyarakat lain yang lebih sibuk “mengolah dunia dalam” dirinya sendiri: mentalnya, manajemen hatinya, rekayasa berpikir subyektifnya. Itu “teknologi internal”.
Ada hipotesis yang mengindikasikan bahwa “teknologi internal” adalah semacam tipologi, unikum atau karakteristik kemanusiaan atau budaya masyarakat di wilayah sepanjang Nusantara. Pelan-pelan, berikut ini, mudah-mudahan saya punya kemampuan untuk menjelaskan apa yang sebenarnya dimaksud dengan “teknologi internal”.
Perkembangan peradaban global abad 20-21 adalah puncak eksplorasi “Teknologi Eksternal”: meneliti, menganalisis, menyimpulkan, mengaplikasikan ke wilayah eksternal segala hal yang membuat kehidupan manusia lebih “maju” dan “mudah”. Muncullah gedung-gedung, pabrik-pabrik, alat-alat di bidang apa saja di wilayah kehidupan yang manapun saja. Tidak hanya transportasi yang ajaib dan dunia maya yang ‘wingit’, tapi bahkan kekhusyukan shalatpun mengandalkan rekayasa teknologi eksternal. Seluruh pemandangan metropolitan Jakarta Raya ini sangat menggambarkan produk “teknologi eksternal”.
Sementara “Teknologi Internal” adalah suatu inisiatif mental, didukung oleh aktivitas emosi dan sedikit intelektual, di mana untuk maju dan mudah, manusia mengandalkan pengaturan, pengolahan, eksplorasi, atau manipulasi mental di dalam dirinya. Untuk makan enak tidak tergantung jenis dan mahalnya makanan, melainkan bergantung pada cara kita menganggap dan memperlakukan makanan apa saja yang ada. Demikian juga berbagai soal lain di luar makanan. Di dalam budaya Jawa ada kata “mupus”: menganggap tak ada sesuatu yang bikin pusing tapi tak pernah bisa diselesaikan. Penderitaan berkepanjangan oleh kemiskinan struktural oleh rakyat cukup dijawab dengan “Gusti Allah mboten sare”. Tuhan tidak tidur.
Puluhan juta keluarga bisa hidup tanpa rasionalitas ekonomi, gaji tak cukup untuk makan keluarga tapi kredit motor, tak ada kerjaan tapi merokok sambil main catur, kalau ditanya bagaimana makan minum keluargamu, mereka menjawab: “Bismillah, Cak”. Ahli Statistik di belahan bumi sebelah manapun tidak pernah mencatat dan makanan utama Bangsa Indonesia adalah bismillah. Dan sesungguhnya apa yang terkandung di balik “bismillah” itu adalah kelonggaran-kelonggaran sistem budaya korupsi di berbagai celah kehidupan yang memungkinkan mereka tetap bisa survive.
Rakyat Indonesia berteriak beberapa hari oleh kenaikan BBM, penjualan asset-asset Negara dan jenis-jenis kebobrokan lain yang dilakukan oleh Pemerintah, kemudian mereka berduka satu dua bulan, akhirnya “mupus”, memproklamasikan “Tuhan tidak tidur”, dan kembali “ubet” lagi, “iguh” lagi: menjalani penghidupan sekeluarganya dengan amat sangat mandiri, tanpa ketergantungan yang signifikan dan tidak perduli-perduli amat kepada parpol apa yang memerintah, Presidennya Bima, Arjuna, Gareng, Bagong, Limbuk, atau Buto Kempung dan Bethoro Kolo….
Sesekali berkhayal: Presiden kita besok harus Puntadewa alias Yudhistira yang berdarah putih, tak punya ambisi, berani kehilangan apapun demi cinta kepada rakyat dan kebenaran sejati. Tetapi kalau di saat fajar ada serangan Rp 20 ribu, ya tak apa bermurah hati mencoblos calon yang menyebar uang itu. Adakah bangsa lain di muka bumi yang tangguh dan cuek-nya melebihi “Bangsa Nusantara”?

Pupusnya Denotasi, Maraknya Konotasi
Salah satu keluaran dari kebiasaan teknologi internal adalah pupusnya denotasi. Manusia dan masyarakat Indonesia hidup dalam konotasi-konotasi: sesuatu tidak dimaksudkan sebagai sesuatu itu sendiri sebagaimana ia adanya. Setiap kata, setiap perbuatan, setiap langkah dan keputusan, setiap jabatan dan fungsi, selalu tidak berkenyataan sebagaimana substansinya, melainkan ada tendensi, pamrih, maksud tersembunyi, “udang dibalik batu” atau apapun namanya -- di belakangnya.
Kalau ia berlaku pada denotasi penderitaan dikonotasikan sebagai “tabungan akhirat”, pada “tempe” dianggap “daging”, pada “kegagalan” disebut “sukses yang tertunda”, “kelemahan” disebut “kesabaran”, “kebodohan” dibilang “kerendahan hati”, “kemiskinan” dikonotasikan sebagai “suratan takdir” – maka masih bisa menguntungkan survivalisme para penderitanya. Mereka bertahan hidup berkat kepandaian menciptakan konotasi-konotasi, Pemerintah selalu beruntung karena tingkat kemiskinan dan penderitaan sedahsyat apapun tak mungkin melahirkan pemberontakan total atau revolusi.
Tetapi kalau yang berlaku adalah denotasi “mencuri uang Negara” dikonotasikan sebagai “jasa bagi keluarga”, “korupsi” menjadi “kelapangan peluang untuk kedermawanan sosial”, denotasi merampok dan melacur itu boleh asalkan konotasinya adalah “jihad Agama”, malak pabrik narkoba itu halal asal konotasinya ada prosentase untuk “pembangunan Masjid”, denotasi “uang narkoba” batal demi konotasi “pembelaan Islam” – maka kebenaran, Agama, dan denotasi apapun tak akan mengalami kehancuran – karena satu-satunya yang bisa hancur hanya kehidupan manusia.

Sindroma Garuda-Emprit
Agar supaya kita tidak terlalu “bersedih” atas “kepastian” untuk semakin hancur, perkenankan saya pergi jauh ke belakang sejarah bangsa Indonesia kita.
Untuk itu “iseng-iseng” kita mempertanyakan siapa itu “Bangsa Indonesia”. Dengan asumsi sederhana bahwa kalau orang tak mengenal dirinya, maka ia tak tahu tempatnya, kalau tak tahu tempatnya juga pasti tak mengerti ke mana akan melangkahkan kakinya. Kita berendah hati saja untuk sedikit mengakui bahwa segala keributan dan kebobrokan yang kita alami 10-20 tahun terakhir ini siapa tahu sekadar kasus orang yang memang tak kenal siapa dirinya. Orang yang dirinya saja ia malas mengenalnya, maka agak mustahil ia punya energi untuk mendiagnosis apa penyakit yang sedang dideritanya. Dan kalau tak ada diagnosis yang tepat, mustahil pula ia akan bisa menyembuhkan diri dari penyakitnya.
Mungkin kita ‘terpaksa’ harus melewati sejumlah relativitas pemahaman atas beberapa hal. Misalnya, sebelum “ada” Bangsa Indonesia, ada “Masyarakat Nusantara”, yang harus diperdebatkan terlebih dulu apakah ia “Rumpun Melayu”, “Masyarakat Jawi”, “Bangsa-bangsa Timur” dst.
Juga sebutan “Jawa” atau “Melayu” berbeda pengertian dan skala faktualnya bergantung satuan waktu yang dipakai: setelah ada NKRI berbeda dengan 5 abad silam, juga berbeda dengan kurun “Ajisaka” 20-an abad silam. Kita harus menunggu puluhan atau ratusan tahun riset antropologis-historis, bahkan penelitian arkeologi dan sejumlah disiplin lain yang lebih mendasar dan akar.
Kita mulai “iseng-iseng” ini dari sejumlah pertanyaan (yang boleh jadi mengandung substansi-substansi yang tidak atau belum “benar”, tapi belum juga bisa dibilang “salah”) misalnya:

Seberapa berbeda “Bangsa Indonesia” dengan “Bangsa Nusantara”? Kita sebut saja keduanya sebagai “kita”. Pertanyaannya: “kita” ini lahir pada 1945, ataukah “kita” yang melahirkan 1945? Kalau “kita” yang melahirkan NKRI dengan penduduknya yang kita sebut Bangsa Indonesia, maka tentunya “kita”lah juga yang melahirkan Ray Pikatan, Sanjaya, Mataram Kuno, Kutai, Majapahit, Ken Arok, Raden Wijaya, dan Gadjahmada, Borobudur dan paradigma Candi Seribu. Kitalah fosil manusia tertua dalam sejarah umat manusia di dunia di Sragen dan Mojokerto. Kitalah induk manusia (mungkin 6 generasi sesudah Adam) yang merintis peradaban, sebelum dihancurkan oleh era demi era sejarah primordialisme: sejak pewarisan kembali dendam Qabil-Habil, berpuluh-puluh abad hingga primordialisme Quraisy-Baduwi, sampai hari ini ada Suku Ahmadiyah, suku Gus Dur, dan suku Muhaimin.
Dari semua kata itu yang mana denotasi yang mana konotasi?
Yang menguasai keuangan internasional, sistem global dan mekanisme pasar (: Neo-Liberalisme, IMF, Kongress AS, Neomultinational dst) dewasa ini sepertinya hanya sejumlah prosentase sangat kecil (1%?) dari jumlah penduduk dunia – yang seluruhnya adalah keturunan Nabi Ismail dan Nabi Ishaq (kaum konglomerat Arab dan strategi /stakeholders Yahudi) dengan induk Nabi Ibrahim. Sampai-sampai Kaum Muslimin harus mengulang tafsir kenapa dalam bacaan Tahiyat Shalat mereka salam kedamaian tak cukup disampaikan kepada Rasul Muhammad Saw tapi juga shalawat dan berkah kepada Rasul Ibrahim As dan keluarganya.
Kalau omong IMF, mudah menerimanya sebagai denotasi, tapi kalau Ibrahim: asosiasi kita biasanya konotatif.
Adapun “Masyarakat Nusantara” ini keturunan siapa? Bisakah dibilang keturunan Ibrahim atau bukan keturunan Ibrahim? Apakah atau siapakah induk “gen” bangsa kita ini lebih muda dari Ibrahim ataukah lebih tua? Misalnya Nabi Nuh As, itu orang Yahudi atau Arab, atau Melayu Jawa?
Apakah tersedia energi mental dan intelektual kita untuk mewaspadai denotasi dan konotasi dari pertanyaan itu?
Bangsa Cina dan Bangsa India itu berada pada garis Ishaq atau Ismail atau di luar itu? Masa depan kita di abad 21 ini mencadangkan Cina dan India sebagai “musuh yang pasti” dipandang dari mata dan kepentingan keturunan Ismail-Ishaq -- maka pasti harus ada pola strategi jangka pendek menengah dan panjang terhadap “Bangsa Nusantara”: NKRI harus dipastikan bisa dikuasai, ditunggangi, dikendalikan, diatur, dengan terlebih dahulu memastikan bahwa NKRI harus rapuh, terpecah belah, saling benci dan bermusuhan satu sama lain, seperti yang terjadi hari ini. Dengan demikian NKRI akan dipande menjadi Keris Nusantara untuk melawan Cina-India ketika saatnya nanti diperlukan.
Ini semua pertanyaan denotatif atau konotatif?
Kalau umpamanya ternyata “Bangsa Nusantara” ini induknya lebih tua dari Ibrahim, maka mungkin perlu dipertanyakan bahwa segala perangkat kemajuan sejarah yang kita pakai sekarang ini “kulakan” pada klan Ismail-Ishaq, dan itu pasti akan menjadi jebakan-jebakan kultural, psikososial dan politis, yang membuat NKRI makin hari makin bunuh diri. Keadaan bangsa Indonesia saat ini demi Allah tidak memerlukan Neoliberalisme, AS, Iblis dan siapapun dari luar sana untuk hancur: bangsa Indonesia sudah berada pada “peak position” untuk secara amat canggih sanggup menghancurkan dirinya sendiri.Kok Iblis segala? Pernahkah Iblis dipahami oleh 20 abad peradaban manusia secara denotatif? Ataukah kita sebut-sebut ia setiap saat dalam konotasi semau-mau kita? Anda pikir Iblis ada hubungannya dengan Setan dan Jin?
Kalau dilihat dari posisi-kosmis, kekayaan alam, keunggulan bahasa dan budaya, maka “Bangsa Nusantara” yang sekarang bernukleus di NKRI tidaklah bisa diungguli oleh bangsa manapun di muka bumi. Maka diampuni Allahlah Amangkurat-II yang menyerahkan rakyat dan kedaulatannya kepada VOC, diampuni Allah semua pelaku-pelaku sejarah Indonesia sejak 1945, Orla, Orba, Orde Reformasi, yang dengan sangat cemerlang mampu mengubah “Garuda Perkasa Bangsa Nusantara” hari ini menjadi “Emprit kerdil, cengeng, dan penakut”.
Sebenarnya kalau kita selalu mengatakan “Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar” itu denotatif atau konotatif?

Ketangguhan Yang “Mencelakakan”
Baiklah. Kalaupun Bangsa Indonesia sekarang tak perlu sampai memerlukan penglihatan diri sejauh ini, semoga sedikit berinisiatif pada takaran normal saja sebagai manusia, sebagai masyarakat dan sebagai bangsa – untuk memulai kemandirian, punya instink untuk ketat menjaga martabatnya, untuk mulai percaya kepada dirinya dan kepada apa yang sebenarnya bisa digapainya.
Kalau bangsa Indonesia tidak percaya bahwa ia besar, bahwa ia lebih induk dan lebih besar dari bangsa-bangsa di dunia, serta tidak percaya bahwa sesungguhnya ia punya filosofi, formula, teknologi, budaya dan mekanisme kepemimpinan atas dunia secara lebih damai, hangat dan penuh toleransi (masyarakat kita aslinya adalah Professor Doktor Toleransi dengan tesis empiris cum laude) – maka mudah-mudahan ada sedikit inisiatif kecerahan diri mengupayakan agar 2009 tidak menjadi “Perayaan Kebodohan Edisi kesekian”, 2012 mencoba memastikan ada sejumlah klausul kenegaraan dan hak milik yang membuat kita tidak lebih parah menjadi budak bangsa lain, serta 2015 memproklamasikan “Keselamatan Minimal” sebagaimana layaknya manusia hidup normal standard tanpa keunggulan dan kehebatan.
Kalau flash-back di atas suatu hari dipelajari dan direnungi, mungkin kesibukan berpikir keIndonesiaan kita sehari-hari mengandung kadar pengetahuan dan substansi yang sedikit agak fenomenologis dan paradigmatik. Kita bersabar dengan ilmu, dan menahan diri tidak bicara atau bertindak apapun kalau tidak dilandasi tanggungjawab ilmu. Bahkan yang membedakan keyakinan (iman) dengan khayalan (klenik, mitologi, subyektivisme) adalah faktor ilmu.
Misalnya ada pertanyaan: kenapa segala penderitaan rakyat, kebobrokan pemerintahan dan kekacauan keadaan bangsa kita tidak pernah cukup menjadi syarat lahirnya sebuah revolusi yang mendasar, total, dan sungguh-sungguh? Padahal penderitaannya lebih dari sungguh-sungguh, kebobrokannya jauh melebihi ukuran kekebobrokan yang pernah dicatat oleh sejarah kepemimpinan dan pemerintahan, serta kekacauannya sedemikian rupa sehingga tak ada rakyat Negara manapun di muka bumi yang sanggup berada di dalamnya?
Salah satu jawabannya: karena individu manusia Indonesia sangat tangguh, tidak collapse oleh kesengsaraan bagaimanapun juga, bahkan berulangkali sanggup menolong Negara untuk tidak collapse pada keadaan yang secara teoritis dan seharusnya ia collapse.
Dan jawaban khusus untuk lembar acara hari ini adalah: karena bangsa “kita” memiliki tradisi Teknologi Internal yang tidak dimiliki oleh gen-gen bangsa lain. Dan paradigma itulah yang selama ini “mencelakakan” kita.

Norma, Hukum, dan Moral
Tentu saja, bangsa dengan bakat internal-technology di era NKRI sekarang ini tidak bisa sepenuhnya menerapkan keunggulan mentalnya: bagaimana mungkin kita tak punya motor, mobil, rumah bagus, laptop, AC; bagaimana mungkin kita mengelak dari arus besar kemewahan, hedonisme, gebyar dan gemerlap… maka bakat internal-technology akhirnya tak sengaja tergeser dan terterapkan ke wilayah-wilayah lain yang masih mengandung ketidak-majuan dan ketidak-mudahan.
Dengan hasil korupsi, kita memperoleh berbagai kemudahan dan kemajuan: bisa beli apa saja sebagaimana atau melebihi orang lain, keluarga menganggap kita sukses, Pesantren dan Masjid yang kita bantu menyimpulkan kita adalah dermawan, masyarakat melihat bahwa kita adalah “orang yang benar”: buktinya punya jabatan, kaya, dan mau bersedekah kepada mereka.
Tetapi ada sedikit pengetahuan yang sudah terlanjur nyantol di saraf otak yang membuat ingatan bahwa kita korup itu menghasilkan sesuatu yang tidak enak dalam hati dan tidak mudah di depan Tuhan. Maka tak cukup bantu Pesantren dan Masjid, kita perlu umroh sesering mungkin, langsung melakukan pendekatan kepada Tuhan. Sebenarnya sedikit-sedikit kita merasa juga bahwa Tuhan tersinggung karena kita tuduh ia bisa kita sogok dengan umroh atas dosa korupsi kita – tetapi karena demikianlah juga yang dilakukan oleh banyak teman-teman Indonesia lain, maka kita menjadi sedikit tenang.
Faktornya di sini, budaya kita lebih mengandalkan norma dibanding hukum atau moral. Hukum dan moral itu nilai otonom dan pasti, sedangkan norma itu bergantung kesepakatan atau kebiasaan banyak orang. Kalau banyak orang menyuruh Ahmadiyah bubar dan banyak orang lain mengutuk FPI, kita terdorong untuk memilih salah satu dan kemudian turut mengacungkan tinju dan memekik-mekik.
Itulah norma. Sementara hukum itu “ilmu”, moral itu “ruh”. Mereka yang hidup berdasar moral dan hukum, tidak melangkahkan kaki berdasarkan arus norma atau kecenderungan orang banyak.
Alif Lam Mim, tuhan kita adalah norma. Kita lakukan apa saja yang nge-trend, yakni segala gejala dan perilaku yang diterima dan dikerjakan oleh orang banyak. Dari mode rambut, sinetron religi bulan Ramadlan, demokrasi, otda pilkada, syariat non-gender, darmawisata umroh, wisata kuliner hingga membubarkan Ahmadiyah dan FPI. Untuk bayar pajak saja kita perlu alasan “Apa Kata Dunia, hare gene…”

Multikorupsi
Dulu Suharto bikin Keraton Kemusu, sempalan Nyayogyakartohadiningrat dari tiga generasi sebelum yang sekarang. Keratonnya dikasih nama Republik, baju kebesarannya sebagai Raja dikasih label Presiden, dengan “uborampe” (kelengkapan basa-basi) mengumpulkan sekian ratus orang menjadi dua kelompok yang dikasih papan nama “MPR” dan “DPR”, dan akhirnya hanya seorang Raja yang jauh-jauh hari sudah merancang dan membangun makamnya di sebuah bukit.
Kepresidenan Suharto adalah konotasi, karena denotasinya adalah Keraton.
Masyarakat tidak keberatan dengan “Keraton” berlabel “Republik” itu karena jiwa raga mereka adalah “abdi dalem” dan “kawulo” sampai hari ini. Dan sampai hari ini kaum intelektual juga tidak pernah mengakui bahwa Orba adalah “Keraton”, karena diam-diam di dalam kandungan mentalnya masih menyimpan rasa “andhap asor” atau inferioritas “kawulo”, masih menyimpan mitologi subyektif untuk “takut” atau “segan”, juga karena sejak semula mereka juga diam-diam berikhtiar bagaimana menjadi “abdi dalem”. Kalau Sang Prabu Haryo Suharto tidak menerima lamaran kita, baru kita tampil di media massa sebagai oposan.
Alhasil, view ini sekadar pintu awal untuk membuka kemungkinan besar kenyataan yang perlu kita teliti dengan jujur bahwa kasus-kasus korupsi yang dijaring KPK hanyalah sejumlah cipratan kecil dari budaya dan peradaban korupsi. Bangsa kita terjebak dalam kesalahan manajemen sejarah yang menggiring mereka melakukan korupsi sejak “dini”. Sebelum uang dan harta Negara, kita sudah melakukan korupsi iman, ilmu, cara berpikir, sejatinya isi hati, setiap jenis perilaku dari yang sehari-hari kultural sampai yang kenegaraan dalam konstitusi dan birokrasi.
Apa yang saya tulis ini bukan tuduhan, juga saya harap tidak menambah persoalan. Ini sumbangan kewaspadaan, demi kebangkitan atau totalnya kehancuran kita bersama. Tiap menjelang tidur, ambil satu kata kerja: lihatlah seberapa “sungguh-sungguh” bangsa kita mengerjakan dan memaksudkan “kata kerja” itu. Apakah kalau kita bilang “a” maka yang kita kerjakan adalah “a”, dan kalaupun memang benar-benar kita kerjakan “a”, apakah niat dan maksud kita sungguh-sungguh “a”. Itu boleh pada perilaku sehari-hari, hingga urusan-urusan yang lebih besar: menjadi pejabat, menjadi wakil rakyat, menjadi Ustadz, menjadi Presiden, mengambil suatu keputusan nasional, dan apapun.

Kunci kehancuran kita sangat boleh jadi adalah: tidak atau kurang bersungguh-sungguh. Catatan: Term “teknologi internal” saya pinjam dari Noe/Letto dan sejumlah muatan lembar ini berasal dari diskusi dengannya.
Tulisan ini adalah pengantar pada acara Diskusi Bareng di Perpustakaan KPK, Jumat, 13 Juni 2008.


Baca Selengkapnya......

Jendela Hati Buat Prajurit Sejati


Oleh. Emha Ainun Najib

Bukan Jabatan, melainkan Jiwa
Menjadi tentara tidak sama dengan menjadi Bupati, Gubernur, Menteri atau Presiden.
Tentara itu jiwa, Presiden itu jabatan.
Jabatan Presiden akan ditinggalkan dan meninggalkan (dengan paksa) orang yang menyandangnya, sedangkan ketentaraan adalah jiwa yang menyatu dengan manusianya, adalah ruh yang tak bisa dicopot kecuali oleh pengkhianatan dan ketidaksetiaan, adalah kepribadian yang mendarah daging sampai maut tiba.
Jabatan sangat disukai oleh manusia yang menyandangnya, tetapi sangat bisa jadi jabatan diam-diam tidak menyukai manusia yang menyandangnya. Tetapi jiwa ketentaraan adalah cinta dan kebanggaan yang menangis jika manusianya mengkhianatinya, dan manusia yang mengkhianati jiwa ketentaraan itu tidak memiliki kemungkinan lain kecuali terjerembab ke jurang kehancuran.


Orang dengan jabatan akan mengalami post power syndrome, tetapi orang dengan jiwa ketentaraan tidak mengenal kata 'post', tidak mengenal 'bekas' atau mantan. Tentara boleh tidak bertugas lagi, boleh menjadi veteran, tetapi itu hanya urusan administrasi dan birokrasi formal, sedangkan kepribadian ketentaraannya tidak bisa dikelupas dari manusianya meskipun oleh kematian.
Dengan pemahaman seperti itu, maka andalan utama Prajurit dalam bermasyarakat bukanlah jabatan dan kekuasaan, bukanlah kegagahan dan kekuatan, melainkan kesetiaan dan sikap yang penuh perhatian kemanusiaan.

Prajurit Pangkat dan Prajurit Kepribadian
Prajurit memiliki dua pemaknaan. Pertama makna jasad, kedua makna rohani. Dalam pemaknaan jasad, prajurit dibedakan dari perwira. Tetapi di dalam makna rohani, prajurit adalah rohani kepribadian.
Kepribadian Prajurit Sejati tidak berkaitan dan tidak berbanding lurus dengan tingkat kepangkatan. Seorang prajurit dalam arti kepangkatan tidak melogikakan makna bahwa ia kalah sejati keprajuritannya dibanding perwira. Seorang Jenderal bisa kalah sejati keprajuritannya dibanding seorang Kopral.
Kata Prajurit Sejati adalah gelar kepribadian, bukan mengindikasikan tinggi rendahnya pangkat.
Bahkan sesungguhnya kata "Prajurit" tidak bisa dipisahkan atau malah mungkin tidak memerlukan kata "Sejati", sebab kalau ia tidak sejati maka ia bukan prajurit.
Seorang prajurit bukan hanya "sebaiknya" berkepribadian sejati, melainkan "harus" dan "pasti" sejati. Sebab keprajuritan adalah keteguhan mempertahankan prinsip, keberanian menegakkan keyakinan, serta "ketenangan jiwa" untuk meletakkan kematian pada harga yang tidak lebih mahal dibanding keyakinan akan kebenaran.
Prajurit Sejati tidak menangis oleh kematian, ia hanya menderita oleh pengkhianatan dan ketidak -setiaan.
Dengan demikian bekal utama Prajurit dalam membaurkan dirinya ke tengah masyarakat bukanlah keunggulan dan kehebatan, melainkan keteladanannya dalam keteguhan memegang prinsip, keberaniannya menegakkan kebenaran, ketenangan jiwanya dalam membela nilai-nilai yang baik di antara sesama manusia.

Keperwiraan adalah Watak Prajurit
Bahkan sesungguhnya kata, idiom atau istilah "perwira", "perwiro", "keperwiraan", diambil dari tradisi watak prajurit.
Ada kata lain dari bahasa lain yang mengindikasikan watak itu, misalnya "gentle", "gentleness". Bahasa Indonesia belum menemukan padanan popular dari kata "keperwiraan", sering orang menggunakan idiom "kejantanan" - tetapi secara budaya kata ini kurang adil, karena "jantan" indikatif terhadap lelaki. "Jantan" terpaksa diakronimkan dengan kata “betina”. Hal ini menumbuhkan subyektivisme bahwa keperwiraan seolah-olah hanya milik kaum lelaki, sehingga segala yang tidak perwira disebut "betina".
Pada kenyataannya tidak sedikit kaum wanita yang berwatak "jantan" dan banyak juga kaum lelaki yang "betina". Maka Bahasa Indonesia sebaiknya meminjam kata "perwira" saja dari peradaban bahasa yang lebih tua.
Keperwiraan, watak prajurit itu, sesungguhnya menjelma dalam berbagai bidang kehidupan atau wilayah sosial.
Keperwiraan berpangkal pada kejujuran dan berujung pada keadilan.

Di dalam wilayah hukum, perwira disebut adil.
Di wilayah moral, perwira disebut jujur.
Di wilayah olahraga, perwira disebut sportif.
Di wilayah budaya, perwira adalah kerendahan hati.
Di wilayah ilmu, perwira disebut obyektif.
Di wilayah cinta, perwira disebut setia.
Di wilayah ketuhanan, perwira adalah kepatuhan.

Maka kehadiran utama Prajurit di tengah masyarakat adalah kepeloporannya di dalam menegakkan watak adil, jujur, sportif, rendah hati, obyektif, setia dan patuh kepada nilai-nilai sejati.

Sarjana Utama, Pendekar, Empu
Jika seseorang berhasil mencapai watak perwira, atau jika seorang perwira sukses mempertahankan kesejatian keprajuritannya, ia adalah Sarjana Kehidupan.
Jika prajurit yang perwira diuji digembleng dihajar oleh pengalaman-pengalaman khusus, sehingga ia layak berada di dalam barisan Pasukan Khusus: ia adalah Sarjana Utama Kehidupan. Ia seorang Doktor Pengalaman.
Kesarjanaan dan ke-Doktor-annya tidak terlalu substansial kaitannya dengan pangkat, terlebih lagi dengan jabatan. Kesarjanaan Prajurit dengan keperwiraannya bukan suatu benda yang menempel di badan atau pakaiannya, bukan pula ditandakan oleh kursi yang didudukinya: melainkan watak, karakter, jiwa, yang sudah menyatu dengan aliran darahnya, denyut nadinya, tarikan nafasnya, ekspresi wajah dan sorot matanya, serta dengan seluruh tata nilai dan pola perilaku kehidupannya.
Jika seorang Prajurit dengan kadar keperwiraannya diletakkan pada suatu tingkat kepangkatan, maka pangkat itu tidak menambah kesejatian keprajuritan serta keperwiraannya, melainkan pangkat itu menguji keprajuritan dan keperwiraannya.
Jika seorang Prajurit dengan wibawa keperwiraannya dijunjung di atas kursi jabatan, maka jabatan itu tidak punya potensi untuk membuat keprajuritan dan keperwiraannya menjadi lebih terpuji, karena justru jabatan adalah medan uji bagi keprajuritan dan keperwiraannya.
Maka seorang prajurit, seorang Perwira, yang adalah Sarjana Utama, Doktor, Empu Kehidupan: jika menempati suatu jabatan, ia tidak tergiur oleh jabatan itu, karena keprajuritan dan keperwiraan jauh lebih mahal dari jabatan setinggi apapun. Ia menjalankan tugas jabatannya tidak untuk membanggakannya, melainkan untuk membuktikan kesetiaan keprajuritannya dan kesejatian keperwiraannya bagi manfaat yang seluas-luasnya bagi bangsa, Negara dan masyarakatnya.
Jika seorang Prajurit dengan keperwiraannya memperoleh kesempatan hidup untuk memiliki kekayaan dan harta benda yang berlimpah, maka limpahan harta itu tidak menambah apapun atas kesejatian keprajuritan dan keperwiraannya, kecuali jika harta itu ia dayagunakan untuk keperluan-keperluan kemasyarakatan yang luas.
Maka kebanggaan Prajurit di dalam kehidupan bermasyarakat bukanlah pangkatnya, jabatan dan atau kekayaannya, melainkan bukti-bukti kesejatian keprajuritannya dan praktek-praktek keteguhan keperwiraannya.

Bias dikhotomi Sipil-Militer
Masyarakat prajurit sampai sejauh ini masih dirugikan atau menjadi korban dari bias subyektif dikotomi pengertian antara Sipil dengan Militer. Terdapat pandangan umum yang berlaku tidak hanya di masyarakat umum namun juga di peta wacana kaum intelektual dan aktivis yang paling modern pun, yang merupakan salah kaprah berkepanjangan. Semacam stigma psikologis dengan pemaknaan yang tidak sportif, di mana Sipil selalu dianggap positif sementara Militer selalu diindikasikan negatif.
Idiom cita-cita besar bangsa Indonesia "Masyarakat Madani" dengan sangat simplifikatif diterjemahkan atau disinonimkan dengan "Masyarakat Sipil", merekrut wacana dari luar negeri tentang "Civilian Society". Akronimnya sudah pasti "Masyarakat Militer", atau lebih ekstrim lagi: Masyarakat yang militeristik.
Bias ini lebih parah ketika menjadi pandangan umum bahwa orang sipil itu tidak memiliki sifat militeristik, sementara prajurit atau tentara dianggap pasti berwatak militeristik. Orang sipil itu "baik", militer itu "jahat". Sipil diidentikkan dengan kedamaian dan kelembutan, militer diasosiasikan dengan kebrutalan dan kekerasan.
Pandangan umum memahami Sipil dan Militer sebagai identitas dan tidak sebagai substansi. Seorang prajurit bisa justru sangat berperilaku sipil dalam kehidupan nyata di masyarakat, dan pada saat yang sama sangat mungkin dan sangat banyak contoh manusia sipil justru berwatak militeristik.
Masyarakat umum maupun kaum intelektual belum berhasil memahami ilmu yang paling sederhana: bahwa tulang itu keras, harus keras maka ia bernama tulang, dan kerasnya tulang tidak bisa diterjemahkan menjadi "tulang adalah pro kekerasan".
Bahwa daging harus lembut, bahwa darah harus cair, bahwa udara tak bisa ditusuk atau ditembah. Manusia dan kehidupan memerlukan sekaligus tulang, daging, darah dan nafas, dengan posisi dan fungsinya masing-masing. Demikianlah juga Negara memerlukan Kaum Sipil dan watak sipil, serta membutuhkan Kaum Militer dan watak militer, pada porsi, proporsi dan fungsinya masing-masing. Darah jangan anti tulang, tulang jangan anti daging, daging jangan anti nafas, nafas jangan anti tulang.
Di tengah bias umum bahwa Sipil adalah "Malaikat" dan Militer adalah "Iblis", ada kemungkinan sebaiknya kata "Militer" tak usah dipakai saja. Sebab kalau kata militer diteruskan menjadi "militerisme", maka maknanya sangatlah negatif. Sementara kalau kata perwira diteruskan menjadi "perwiraisme" maka maknanya sangat positif.
Maka salah satu nilai yang paling harus dibuktikan oleh setiap Prajurit kepada masyarakatnya adalah bahwa kaum prajurit tidak kalah lembut dibanding manusia sipil, bahwa keprajuritan bukanlah militerisme, bahwa ketentaraan bukanlah kekerasan kepada manusia dan masyarakat, serta bahwa pelatihan-pelatihan keras kaum prajurit hanyalah diperuntukkan bagi fungsi menjadi Benteng Negara, pelindung masyarakat, pagar keamanan dan dinding penjaga ketenteraman. Benteng, pagar dan dinding tidak boleh lembut atau lembek, ketika berfungsi sebagai benteng, pagar dan dinding.

Antara Nasionalisme dan kesejahteraan
Tema yang saya tulis dengan airmata adalah dilema pelik yang dialami oleh Prajurit Indonesia antara kewajiban kepeloporan Nasionalisme dengan kenyataan kesejahteraan bagi institusi ketentaraan maupun bagi keluarga-keluarga para Prajurit. Namun tema ini tidak mungkin bisa saya tuliskan dengan baik melalui susunan kata dan kalimat seperti apapun-sebab Kaum Prajurit bukan hanya jauh lebih mengetahui dan sangat mengerti persoalan ini, namun mereka mengalaminya dengan jiwa nelangsa di setiap siang dan malam, di setiap pagi dan sore, di setiap bulan dan tahun, bahkan di setiap menit dan detik, bersama keluarga-keluarga mereka masing-masing.
Saya tidak berada pada posisi dan luang waktu untuk mengkritik siapapun dan pihak manapun dalam persoalan ini. Saya tidak akan melirik Bapak Susilo Bambang Yudhoyono yang bukan hanya Presiden tapi juga seorang Jenderal. Saya tidak akan menuding mereka di Majlis Rakyat atau Dewan Rakyat, juga tidak saya kecam siapapun dan institusi apapun dalam skala nasional maupun internasional yang selama menanam saham penderitaan di kalangan Kaum Prajurit Indonesia. Karena jika ada sesuatu yang bisa menolong keadaan ini, saya tidak akan mengatakannya, melainkan akan mengerjakannya.
Yang pagi hari ini bisa saya bisikkan kepada para Prajurit Negeri dan Tanah Air bangsa Indonesia adalah kebanggaan saya kepada tingkat kesabaran dan ketabahan yang luar biasa di dalam jiwa Para Prajurit. Penghormatan saya kepada ketenteraman hati mereka untuk terus menerus menahan amarah, kepada keluasan jiwa mereka yang membuat mereka tidak mengamuk, serta ketangguhan mental mereka yang mampu memelihara kuda-kuda nasional mereka sebagai Prajurit-prajurit Sejati.
Saya mohon ampun kepada Tuhan dan minta maaf kepada seluruh bangsa Indonesia bahwa tahun-tahun terakhir ini sangat membuktikan di depan mata semua orang di negeri ini bahwa yang lebih suka marah-marah adalah kaum sipil, bahwa yang lebih sering tawur adalah masyarakat sipil, yang lebih suka berpecah belah dan bertengkar adalah golongan-golongan masyarakat yang bukan tentara.
Tentara Indonesia, para Prajurit, adalah manusia puasa, di sisi rekannya yang tiap hari menjadi manusia kenduri. Makhluk yang paling mulia di hadapan Tuhan adalah manusia yang berpuasa. Puasa manusia adalah hidangan paling lezat yang disantap oleh Tuhan. Dan sesungguhnya hanya manusia puasalah yang mengerti nikmatnya berbuka puasa. Mereka yang profesinya kenduri tiap hari tak akan pernah merasakan kenikmatan yang dirasakan oleh orang berpuasa yang berbuka meskipun sekedar semangkuk kolak ketela.
Hanya kata-kata terakhir itulah jendela hati yang mampu kubukakan bagi para Prajurit Sejati yang aku cintai.
EAN
Casablanca, Jakarta, 8 April 2008
Tulisan ini merupakan materi ceramah Cak Nun dalam rangkaian acara Ulang Tahun Kopassus ke-56 (16 April 2008) di Balai Komando Markas Kopassus Cijantung Jakarta Timur, 9 April 2008.

Baca Selengkapnya......