Kamis, Juli 10, 2008

Fenomena Semburan Lumpur Sidoarjo

Telah setahun berlalu, namun bumi Porong dengan kegarangannya terus memuntahkan lumpur panas mengandung gas beracun dari dalam perutnya tanpa henti. Tak bergeming di tengah manusia berupaya dengan sekian banyak jurus yang dilakukan. Sekian banyak seminar dan diskusi telah diselenggarakan guna menelurkan teori-teori ilmiah mencari cara terapi penghentiannya. Berbagai teknologi pun telah diimplementasikan. Telah sekian banyak pula upaya ritual keagamaan dan spiritual dilaksanakan. Artinya, bertriliun-triliun rupiah telah dimuntahkan guna mengatasi semburan lumpur bumi Porong yang seakan menantang dan makin menunjukkan keangkuhannya. Entah berapa ratus triliun rupiah lagi akan dikeluarkan untuk menanggulangi semburan lumpur tersebut beserta dampak dan akibatnya. Padahal para pakar geologi pun telah memprediksikan bahwa fenomena alam semburan lumpur Porong ini baru akan berhenti setelah melalui masa selama 33 tahun. Suatu fenomena yang luar biasa sekaligus memprihatinkan di tengah situasi negeri ini yang carut marut dan makin terpuruk. Dampak dari ini semua yang terpenting adalah berapa banyak lagi rakyat kecil yang akan menjadi korban? Sedangkan korban yang ada saat ini saja masih terkatung-katung nasibnya. Hanya janji-janji kosong yang membuai mereka setiap saat. Tangis dan rintihan kepedihan hidup mereka seakan ditelan waktu menjadi sesuatu yang lumrah dan biasa. Nampaknya pemerintahan negeri ini telah gagal, tak mampu mengatasi persoalan ini dengan cepat dan sigap, terlihat mengulur-ulur waktu dan melindungi “kepentingan tertentu”.


Para elite negeri ini sepertinya telah terhijab dan terbelenggu oleh taghut-taghutnya sendiri. Mereka telah menanggalkan “Jas Merah” (ungkapan Bung Karno : Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah). Sejarah masa lalu hanya dijadikan dongeng sebelum tidur. Kita semua telah lupa. Kita semua “ada” saat ini adalah merupakan hasil perjalanan sejarah masa lalu. Lupa sejarah sama artinya kita melupakan asal-usul, lupa orang tua, lupa kakek nenek, lupa leluhur, dan sama artinya melupakan Allah SWT. Betapa tidak, padahal Al Qur’an dan kitab-kitab suci lainnya yang menjadi pedoman hidup umat di bumi ini meriwayatkan pengalaman, ucapan, perbuatan dan akibat baik buruk orang-orang terdahulu.

Sejarah bukan sekedar perjalanan manusia di bumi yang terjadi begitu saja adanya, namun jika direnungkan lebih dalam memberikan pelajaran bagi kita akan ketetapan-ketetapan-Nya. Secara ringkas dapat dikatakan, dengan melihat sejarah, Allah memberikan pelajaran kepada kita, dalam kawruh Jawa salah satu hikmahnya dikenal dengan istilah : “Ngunduh wohing pakerti” (orang akan memetik hasil atas perbuatannya sendiri). Bangsa ini adalah merupakan anak cucu para leluhur negeri ini. Sudah semestinya kita tidak melupakan sejarah keberadaan beliau para leluhur nusantara dengan segala fenomenanya. Sudah selayaknya kesadaran akan kesatuan persatuan berbangsa dan bernegara diikat oleh kenyataan sejarah nusantara ini. Menjadi suatu kenyataan bahwa bumi Nusantara (Indonesia) berbeda dengan bumi Arab, berbeda dengan bumi Amerika, Eropa, Afrika, Cina, dan lain-lain. Walaupun agama-agama telah menjadi keniscayaan berkembang di negeri ini, namun semestinya kita tidak meninggalkan “jati diri” sebagai bangsa di tanah yang kaya raya ini, Nusantara. Sudah selayaknya kita orang Jawa mempertahankan identitas (tradisi dan budaya) ke Jawa-annya, orang Batak dengan identitas ke Batak-annya, orang Aceh dengan ke Aceh-annya, orang Dayak dengan ke Dayak-annya, dan sebagainya.

Apakah di jaman digital ini kita masih tidak percaya dengan petuah-petuah leluhur kita? Apalagi petuah atau karya leluhur yang winasis dan waskita yang merupakan wasiat bagi anak cucu negeri ini. Apakah kita masih angkuh dan sombong di dalam “nguri-uri budaya leluhur” menanggapi dengan pernyataan bahwa semua itu merupakan sesuatu yang syirik musyrik bahkan bid’ah dan sesat? Juga dinilai sebagai mistik dan tahayul? Padahal mistik dan tahayul merupakan suatu ungkapan terhadap hal-hal yang tidak dapat dicerna dengan akal penalaran karena bersifat gaib (tidak nyata atau tidak kasat mata). Padahal pula kegaiban adalah suatu kenyataan yang bagi kita umat beragama diwajibkan untuk meyakininya. Di dalam agama Islam kita mengenal adanya 6 (enam) Rukun Iman. Jin dan setan pun nyata adanya sebagai mahluk gaib ciptaan Allah Yang Maha Gaib. Apakah kita masih ingin mengingkarinya? Jadi, soal syirik musyrik, bid’ah dan sesat merupakan penilaian yang menjadi hak Allah semata. Kita sesama hamba ciptaan-Nya tidak berhak untuk saling memvonis dan menghakimi dalam persoalan ini.

Setidaknya kita patut tersadar bahwa ternyata wasiat-wasiat leluhur Nusantara ini merupakan suatu hal yang fenomenal dan luar biasa yang pernah ada dan pernah terjadi di muka bumi ini. Bayangkan dan renungkan sejenak, tanpa tersadar bangsa ini sebenarnya telah memiliki wasiat yang secara rinci namun tersamar menggambarkan sosok pemimpin dan situasi umum keadaan negara ke depan. Tentu saja semua terjadi atas Kehendak Allah dengan segala Kekuasaan-Nya. Dan semua itu merupakan harta karun yang tak ternilai harganya. Selain mengandung petuah tentang budi pekerti yang baik juga mengandung prediksi perjalanan bangsa ini dengan situasi dan kondisi yang menyertainya. Apakah kita masih mengingkari, jika dikatakan oleh Prabu Jayabaya (Jenggala, Th 1135 - 1157) di dalam Kitab Musarar akan berdiri kerajaan Kediri, Singosari, Pajajaran, Majapahit, Demak, Pajang, dan Mataram? Padahal masing-masing kerajaan berselang waktu ratusan tahun sesudahnya. Apakah kita masih mengingkari, jika dari perlambang yang ada dikatakan bahwa sejak Kemerdekaan Negara RI 1945 dikatakan bahwa negara dikutuk selama 60 tahun? Apakah kita juga masih mengingkari, bahwa pada saat ini kita masuk kepada era pemimpin dengan perlambang “Tan kober pepaes sarira, tan tinolih sinjang kemben” yang bermakna bahwa pemimpin yang tidak sempat mengatur negara karena direpotkan dengan berbagai masalah? Hal ini dengan versi lain dikatakan oleh Ronggowarsito, bahwa saat ini masuk pada era pemimpin “Satrio Boyong Pambukaning Gapuro” dengan segala fenomenanya (lihat : Ramalan 7 Satrio Piningit). Sejujurnya bisa dikatakan bahwa di era kepemimpinan SBY – JK saat ini telah terjadi banyak bencana dan kecelakaan, sampai-sampai terlihat tidak sempat mengatur negara. Banyak kebijakan-kebijakan beliau yang mandul dalam pelaksanaannya walaupun banyak dibantu orang-orang pandai di bidangnya. Berpotensi terjadinya disintegrasi bangsa (proses perdamaian semu GAM – RI merupakan potensi laten disintegrasi Aceh dari naungan NKRI di depan hari).

Hal senada juga dikatakan oleh Prabu Siliwangi sebagai berikut :
( “Penguasa yang buta, semakin hari semakin berkuasa melebihi kerbau bule, mereka tidak sadar jaman manusia sudah dikuasai oleh kelakuan hewan.
Kekuasaan penguasa buta tidak berlangsung lama, tapi karena sudah kelewatan menyengsarakan rakyat yang sudah berharap agar ada mukjizat datang untuk mereka. Penguasa itu akan menjadi tumbal, tumbal untuk perbuatannya sendiri, kapan waktunya? Nanti, saat munculnya anak gembala! di situ akan banyak huru-hara, yang bermula di satu daerah semakin lama semakin besar meluas di seluruh negara. yang tidak tahu menjadi gila dan ikut-ikutan menyerobot dan bertengkar. Dipimpin oleh pemuda gendut! Sebabnya bertengkar? Memperebutkan tanah. Yang sudah punya ingin lebih, yang berhak meminta bagiannya. Hanya yang sadar pada diam, mereka hanya menonton tapi tetap terbawa-bawa.
Yang bertengkar lalu terdiam dan sadar ternyata mereka memperebutkan pepesan kosong, sebab tanah sudah habis oleh mereka yang punya uang. Para penguasa lalu menyusup, yang bertengkar ketakutan, ketakutan kehilangan negara, lalu mereka mencari anak gembala, yang rumahnya di ujung sungai yang pintunya setinggi batu, yang rimbun oleh pohon handeuleum dan hanjuang. Semua mencari tumbal, tapi pemuda gembala sudah tidak ada, sudah pergi bersama pemuda berjanggut, pergi membuka lahan baru di Lebak Cawéné!
Yang ditemui hanya gagak yang berkoar di dahan mati. Dengarkan! jaman akan berganti lagi, tapi nanti, Setelah Gunung Gede meletus, disusul oleh tujuh gunung. Ribut lagi seluruh bumi. Orang sunda dipanggil-panggil, orang sunda memaafkan. Baik lagi semuanya. Negara bersatu kembali. Nusa jaya lagi, sebab berdiri ratu adil, ratu adil yang sejati.
Tapi ratu siapa? darimana asalnya sang ratu? Nanti juga kalian akan tahu. Sekarang, cari oleh kalian pemuda gembala.
Silahkan pergi, ingat jangan menoleh kebelakang!” )

Fenomena inilah yang dikatakan Prabu Siliwangi untuk menunjuk era saat ini. Betapa tidak, dengan kejadian semburan lumpur Porong yang hingga saat ini belum berhenti mengisyaratkan bahwa seluruh rakyat sedang menantikan datangnya mu’jizat. Disertai huru-hara di sana-sini, juga perebutan soal tanah. Pemuda gendut adalah perlambang orang-orang berduit yang serakah. Pepesan kosong bermakna bahwa rakyat terkalahkan karena orang-orang yang berkompeten atau berkuasa masuk dalam persoalan membantu orang-orang yang berduit. Kita lihat saja pada saat ini banyak sekali persoalan perebutan tanah dan gusur menggusur merebak di mana-mana.

Setidaknya jika kita jeli, maka gambaran-gambaran yang telah diungkapkan para leluhur nusantara beratus-ratus tahun yang lalu telah muncul menjadi kenyataan saat ini. Dengan pemahaman ini maka kita dapat meraba apa yang akan terjadi setelah ini. Sehingga dapat saya katakan di sini bahwa Semburan Lumpur Porong yang sangat fenomenal saat ini sesungguhnya merupakan suatu tanda yang mengisyaratkan adanya “Sayembara” yang terbuka luas bagi anak cucu negeri ini. Walaupun pihak pemerintah atau Lapindo sekalipun tidak secara resmi mengadakan sayembara ini. Sayembara yang saya katakan itu mengisyaratkan bahwa : “Bagi siapa saja yang mampu menghentikan semburan lumpur Porong saat ini, maka dialah Sang Budak Angon itu, dialah Aulia itu Sang Putra Batara Indra, dan dialah yang dikatakan Satrio Pinandito Sinisihan Wahyu itu. Siapapun saja tanpa terkecuali, entah dia adalah seorang tukang becak, tukang parkir, penjual bakso, bahkan seorang jendral sekalipun. Hanya karena Kehendak Allah saja, “seseorang” itu tidak perlu waktu berhari-hari bahkan berminggu-minggu untuk membuktikannya. Cukup sehari saja, bahkan hanya beberapa jam atau menit saja. Insya Allah…
Lalu kemudian apa imbalannya bagi yang mampu…?
Beliau “seseorang” itu tidak berharap mendapatkan imbalan apapun..!!”
Semoga anda para pembaca memahami maksud saya… :-)

Untuk diketahui, bahwa dari pantauan secara spiritual, sejak tanggal 7-7-2007 kemarin telah nampak cahaya putih di atas Alas Ketonggo bergerak ke arah timur. Saat ini cahaya putih tersebut terlihat diam memancar di suatu tempat di arah timur. Nampaknya “seseorang” itu telah hadir, dan akan datang dari timur (setelah bergerak dari arah barat ke timur). Kemungkinan besar para winasis dan waskita di negeri ini juga telah dapat memantau fenomena spiritual ini. Insya Allah…

Semoga Tuhan Yang Maha Agung melimpahkan rahmat-Nya kepada umat-Nya yang berjuang menegakkan kebenaran. Semoga Allah meridhoi upaya kita semua. Amin…

Baca Selengkapnya......

Putra Sang Fajar Muncul di Ufuk Timur

Pembaca yang budiman, apa yang terpapar di dalam blog ini adalah murni merupakan hasil input spiritual atau bisa dikatakan sasmita, yang kemudian dicocokkan dengan beberapa wasiat leluhur berkenaan. Untuk diketahui bahwa sebagai pijakan dasar dalam menayangkan blog ini adalah input spiritual yang turun berupa QS Asy Syua’raa’ : 5 – 9 yang berbunyi : “Dan sekali-kali tidak datang kepada mereka suatu peringatan baru dari Tuhan Yang Maha Pemurah, melainkan mereka selalu berpaling daripadanya. Sungguh mereka telah mendustakan (Al Qur’an), maka kelak akan datang kepada mereka (kenyataan dari) berita-berita yang selalu mereka perolok-olokan. Dan apakah mereka tidak memperhatikan bumi, berapakah banyaknya Kami tumbuhkan di bumi itu berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang baik? Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat suatu tanda kekuasaan Allah. Dan kebanyakan mereka tidak beriman. Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.”


Dan juga QS An Nuur : 46 – 47 yang berbunyi : “Sesungguhnya Kami telah menurunkan ayat-ayat yang menjelaskan. Dan Allah memimpin siapa yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus. Dan mereka berkata: “Kami telah beriman kepada Allah dan rasul, dan kami menaati (keduanya).” Kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah itu, sekali-kali mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman.”

Singkat kata, masih ingatkah para pembaca budiman ketika kami mengumumkan informasi tentang “cahaya putih” yang terlihat di atas Alas Ketonggo pada tanggal 7 Juli 2007 yang lalu yang bergerak menuju ke arah timur dan berdiam di suatu tempat di timur? Sebenarnya fenomena spiritual tersebut dibarengi dengan turunnya QS Al Israa’ : 41 – 46 sebagai penjelasannya, yang menyatakan : “Dan sesungguhnya dalam Al Qur’an ini Kami telah ulang-ulangi (peringatan-peringatan), agar mereka selalu ingat. Dan ulangan peringatan itu tidak lain hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran). Katakanlah: “Jika ada tuhan-tuhan di samping-Nya, sebagaimana yang mereka katakan, niscaya tuhan-tuhan itu mencari jalan kepada Tuhan yang mempunyai Arasy.” Maha Suci dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka katakan dengan ketinggian yang sebesar-besarnya. Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun. Dan apabila kamu membaca Al Qur’an niscaya Kami adakan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, suatu dinding yang tertutup, dan Kami adakan tutupan di atas hati mereka dan sumbatan di telinga mereka, agar mereka tidak dapat memahaminya. Dan apabila kamu menyebut Tuhanmu saja dalam Al Qur’an, niscaya mereka berpaling ke belakang karena bencinya.”

Dalam fenomena ini secara khusus arti dan maksud “cahaya putih” itu dijelaskan melalui QS Al Hajj : 40 – 41 yang berbunyi : “ (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: “Tuhan kami hanyalah Allah.” Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan mesjid-mesjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama) -Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.”
(Masya Allah la quwata ila billah..!!! Ayat ini menyiratkan gambaran tentang ”seseorang” yang tersembunyi itu).

Mengapa pula pada waktu yang lalu yaitu tanggal 11 dan 12 Juli 2007 kami memberitahukan di dalam blog ini kepada para winasis dan waskita di negeri ini untuk bisa berkumpul di Bali pada hari Jum’at tanggal 13 Juli 2007 untuk bersama-sama membuktikan kebenarannya. Dalam fenomena ini, secara hakekat Alas Ketonggo sebenarnya adalah Pulau Dewata (Bali). Dan ”cahaya putih” di timur itu ternyata berada di Sad Kahyangan Jagad sisi timur yaitu di Pura Lempuyang Luhur (lambangnya Sang Hyang Iswara, melambangkan keputusan dan kebijaksanaan). Berkaitan dengan fenomena ini turunlah ayat yang menjelaskannya berupa QS An Nuur : 51 – 52 yang berbunyi : “Sesungguhnya perkataan orang-orang mukmin, apabila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya supaya diputuskan perkara di antara mereka* ialah ucapan: “Kami mendengar dan kami patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (*: Maksudnya: Di antara kaum muslimin dengan kaum muslimin dan antara kaum muslimin dengan yang bukan muslimin)

Input spiritual lain yang menyertainya adalah input untuk menyelenggarakan suatu upacara ritual di sebuah Pura di Bali arah Selatan – Barat Daya pada bulan Agustus 2007 mendatang. Moment ini akan menandai kemunculan ”seseorang” itu dan sebagai forum pesaksian/pembuktian atas kebenarannya sebelum ”seseorang” itu mengemban amanah-amanah-Nya bagi kemaslahatan rakyat negeri ini.

Pada kesempatan ini sebagai penutup dapatlah kami ungkapkan pasemon (sanepan) berupa syair dari Sabdo Palon tentang Jangka Jayabaya (melalui input spiritual terkini), sebagai berikut :

“Semut ireng ngendog jroning geni,
(“Semut hitam bertelur di dalam api,)
Ono Merak memitran lan Baya,
(Ada Merak berteman dengan Buaya,)
Keyong sak kenong matane,
(Keong sebesar talempong matanya,)
Tikuse padha ngidhung,
(Tikusnya pada bernyanyi,)
Kucing gering ingkang nunggoni,
(Kucing kurus yang menunggui,)
Kodok nawu segara oleh Banteng sewu,
(Kodok menjaring di danau mendapatkan seribu Banteng,)
Precil-precil kang anjaga,
(Anakan katak yang menjaga,)
Semut ngangrang angrangsang Gunung Merapi,
(Semut Rangrang merangsang Gunung Merapi,)
Wit Ranti (meranti) woh Delima.”
(Pohon Meranti berbuah Delima.”)

Bebarengan dengan turunnya pasemon berupa syair ini, turun pula ayat-ayat yang menjelaskannya, yaitu :

QS Ali Imran : 140 – 141 : “Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itu pun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang lalim, dan agar Allah membersihkan orang-orang yang beriman (dari dosa mereka) dan membinasakan orang-orang yang kafir.”

Dan juga QS Ar Ra’d : 42 : “Dan sungguh orang-orang kafir yang sebelum mereka (kafir Mekah) telah mengadakan tipu daya, tetapi semua tipu daya itu adalah dalam kekuasaan Allah. Dia mengetahui apa yang diusahakan oleh setiap diri, dan orang-orang kafir akan mengetahui untuk siapa tempat kesudahan (yang baik) itu.”

Serta QS Al Bayyinah : 5 : “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.”

Kebenaran hanyalah milik Allah SWT, sedangkan bila ada kesalahan itu semua datangnya dari diri saya. Namun semuanya sudah sangat jelas. Apa arti dari semua itu ? Jawabannya : TELAH TIBA SAATNYA…!!! Maha Benar Allah dengan segala Firman-Nya. Atas ijin dan ridho-Nya, semoga seluruh mahluk di atas bumi dan di langit berbahagia penuh kedamaian. Amin.

Baca Selengkapnya......

Roka’at Terakhir

Ass.wr.wb.

Para Netters yang terkasih,
Tulisan ini merupakan “Roka’at Terakhir” di dalam mengungkap misteri nusantara yang kita cintai bersama. Sungguh banyak hakekat yang tersirat dari apa yang tersurat. Untuk dipahami bersama sekali lagi bahwa apa yang terpaparkan merupakan murni hasil input spiritual dari “seorang pejalan” yang terbawa angin ke Timur menembusi dimensi kegaiban. Dengan adanya rambu-rambu adab yang berlaku, maka tidak semua bisa diungkapkan di sini. Kami berharap blog ini dapat menjadi sebuah wacana spirit nusantara dimana kami tidak akan mengintervensi komentar-komentar baik yang pro maupun kontra, asalkan saja masih di batas kesantunan dan beradab. Karena walau beragam kapasitas pemahaman masing-masing terhadap hal ini, namun kita semua sejatinya adalah saudara sebangsa satu tanah air.


Sebelum dan sesudahnya kami ucapkan terima kasih kepada para netters yang telah memberikan komentar-komentarnya. Secara khusus kami sangat mengapresiasi komentar saudaraku “Karebet” dan “Mr. Iseng”. Sedikit kami informasikan di sini, bahwa dari Upacara Guru Piduka yang telah berlangsung di Tanah Lot pada tanggal 26 Agustus 2007 yang lalu, menurut kesaksian beberapa spiritualis dari Jakarta, Semarang dan Bali yang hadir dalam acara itu telah “melihat” tanda yang sama tentang kemunculan “Satria Pinandhita Sinisihan Wahyu” di tengah kita. Ya.. sinyal yang muncul menyiratkan bahwa “Sabdo Palon Noyo Genggong” telah muncul. Sungguh sangat rumit untuk menjelaskannya bagi konsumsi akal penalaran. Tidak ada yang tidak mungkin jika Allah SWT berkehendak. Saat ini “Roda Cokro Manggilingan” tengah bergerak dan berputar. Walau secara kasat mata tidak terlihat, namun daya-dayanya akan terasa secara luas.

Bukanlah suatu kebetulan jika pada tanggal 26 Agustus 2007 malam itu (dini hari masuk tanggal 27 Agustus 2007) bulan purnama terlihat ada dua (yang satu sebenarnya adalah planet Mars). Fenomena ini melambangkan kemunculan “dua sosok” yang menjadi satu kesatuan, ibarat Semar dan Arjuna atau Begawan Abiyoso dan Prabu Parikesit. Dalam Al Qur’an dilambangkan kekuatan Nabi Musa dan Nabi Harun dalam menghadapi Fir’aun. Dan dalam konteks ini adalah : “Sabdo Palon Noyo Genggong”. Secara kegaiban Sabdo Palon adalah Dang Hyang Nirartha (titisan Sang Hyang Ismoyo) dan Noyo Genggong adalah Gajah Mada (titisan Dewa Gana / Ganesha). Aura “dua sosok” tersebut ada pada dua orang Jawa berdarah Sunda pengikut Rasulullah Muhammad SAW melalui Prabu Kian Santang, dan dalam menapak menjalankan ajaran Sunan Kalijaga dan Sunan Gunung Jati. Secara hakekat fenomena ini melambangkan bahwa “dua sosok” beliau adalah berasal dari Trah Pajajaran – Majapahit. Sehingga setidaknya terjawab sudah apa yang telah diwangsitkan oleh Prabu Siliwangi dalam “Uga Wangsit Siliwangi” berkenaan dengan sosok “Budak Angon dan Pemuda Berjanggut yang mengenakan pakaian serba hitam bersandangkan sarung tua”. Dua sosok tersebut mewakili keturunan Prabu Siliwangi yang pergi menuju ke arah Timur.

Tak perlu penasaran siapa sejatinya beliau. Karena beliau “dua orang” tersebut tidak akan muncul di permukaan sebelum missi yang dijalankannya paripurna. Missi tersebut berkenaan dengan “Persatuan Umat” dan untuk ingat kembali akan “Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa”. Jangan dibayangkan “beliau” akan harus berhadapan dengan jutaan umat di nusantara ini. Namun dalil yang berlaku pada “beliau” adalah : “Nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake”. Sampai kapanpun “beliau” tidak akan mengaku dan tidak mengetahui bahwa dirinya sebagai sosok “Satria Piningit” itu. Jadi dalam kesempatan ini kami ingin mengatakan bahwa jika di permukaan ada pihak-pihak yang mengaku atau meng-klaim dirinya sebagai Satria Piningit ataupun Ratu Adil, semua itu adalah “Tipu Daya dan Kebohongan Belaka”. Apalagi ujung-ujungnya berkaitan dengan harta karun atau pusaka Bung Karno, semua itu adalah “Bohong Besar”.

Saat ini secara kegaiban “beliau” tengah berjalan dari Timur menuju Barat, meluruskan kembali apa yang salah diantara Majapahit dan Pajajaran (khususnya kejadian Perang Bubat). Prinsipnya banyak hal yang perlu diluruskan berkenaan dengan sejarah nusantara ini. Karena kepentingan pihak-pihak tertentu pasca keruntuhan Majapahit, sampai dengan dekade ini banyak sejarah yang telah diputarbalikkan ataupun dibengkokkan. Secara empirik catatan atau bukti sejarah boleh hilang, namun di alam kegaiban catatan sejarah nusantara ini tidak dapat dihapus. Dan inilah peran kemunculan beliau “Sabdo Palon Noyo Genggong” yaitu meluruskan apa yang salah di negeri ini. Jika secara kegaiban hal-hal yang salah dapat diluruskan, maka aura ini akan berpengaruh besar dalam kehidupan manusia di bumi. Tak salah kiranya kembali apa yang tertulis di dalam Uga Wangsit Siliwangi :
“Dengarkan! Jaman akan berganti lagi, tapi nanti, setelah Gunung Gede meletus, disusul oleh tujuh gunung. Ribut lagi seluruh bumi, Orang Sunda dipanggil-panggil, Orang Sunda memaafkan. Baik lagi semuanya. Negara bersatu kembali. Nusa jaya lagi, sebab berdiri ratu adil, ratu adil yang sejati.”

Akhir kata sebagai ungkapan penutup, kami ingin mengajak para netters untuk merenungkan kembali akan ungkapan Bung Karno yang menyatakan bahwa suatu saat Indonesia akan menjadi “Mercu Suar” dunia. Untuk itu pula terakhir kalinya kami ingin memberikan bahan perenungan dalam konteks ini kepada para netters tentang hadits Rasulullah SAW :
“Dari Abdullah bin Mas’ud r.a. dia berkata, ketika kami berada di sisi Rasulullah SAW tiba-tiba datang sekelompok anak-anak muda dari kalangan Bani Hasyim. Apabila terlihat akan mereka, maka kedua mata Rasulullah SAW berlinang air mata dan wajah beliau berubah. Aku pun bertanya, “Mengapakah kami melihat pada wajahmu sesuatu yang tidak kami sukai?” Beliau menjawab, “Kami ahlul bait telah Allah SWT pilih untuk kami akhirat lebih utama dari dunia. Kaum kerabatku akan menerima bencana dan penyingkiran sepeninggalku kelak sampai datangnya suatu kaum dari sebelah Timur yang membawa bersama mereka panji-panji berwarna hitam. Mereka meminta kebaikan tetapi tidak diberikannya. Maka mereka pun berjuang dan memperoleh kemenangan lalu diberikanlah apa yang mereka minta itu, tetapi mereka tidak menerimanya, hingga mereka menyerahkannya kepada seorang lelaki dari kaum kerabatku yang memenuhi bumi dengan keadilan. Sebagaimana bumi dipenuhi dengan kedurjanaan. Siapa diantara kamu yang sempat menemuinya maka datangilah mereka walaupun merangkak di atas salju. Sesungguhnya dia adalah Al Mahdi.” (riwayat Abu Daud, Al Hakim At Tarmidzi, Ibnu Majjah, lbnu Hibban, Abu Nu’aim, lbnu ‘Asakir, Ibnu‘Adli, Adh Dhahabi, Abu Asy Syeikh)


Baca Selengkapnya......

Kontemplasi Nusantara Raya

Apakah kita semua lupa?
Apakah kita semua lalai?
Apakah memang kita semua tidak mau tahu?
Ketika ekonomi dan politik menjadi taghut-taghut yang kita sembah,
Ketika intelektualitas dan logika menjadi sesembahan kita,
Ketika kehidupan hedonistis menjadi berhala kita,
Bahkan, ketika agama dan syari’at pun kita jadikan Tuhan,
Nampaknya,
Kita semua lupa,
Kita semua lalai,
Atau bahkan sebenarnya kita semua munafik,
Diam-diam…,
Syirik musyrik telah membius diri,
Bid’ah dan sesat telah merasuk dalam darah,


Pantas…
Jika Allah menurunkan azab-Nya,
Sangat pantas…
Jika Allah dengan kasih-Nya memberikan pelajaran,
“Asyhadu ala ilaha ilallah, wa asyhadu ana Muhammaddan rasulullah,
Innalillahi wa inna ilaihi roji’un,
La hawla wala quwata ila bilahil aliyul adzhim,”
Patut kita akui,
Nyatanya kita memang terlupa,
Hanya sorga menjadi tujuan kita,
Hanya rizqi menjadi dambaan kita,
Nyatanya kita memang terlupa,
Sesungguhnya Allah lah pencipta sorga dan rizqi,
Semestinya…,
“Ilahi anta maqsudi wa ridhoka mathlubi,
Allah adalah tujuanku dan ridho Allah yang kucari,”
Semestinya…,
Dengan syari’at, kita mengenal toriqoh (jalan menuju Allah),
Dengan toriqoh, kita mengenal hakekat,
Dengan hakekat, kita berma’rifat (mengenal Allah),
Semestinya…,
Agama dan syari’at bukan sarana menghakimi sesama,
“Inna robbi latifu limayasan, innahu wa alimul hakim,”
Nampaknya,
Kita tidak mau tahu akan ayat-ayat-Nya,
Kita tidak mau membaca tanda-tanda-Nya,
Kita tahu.., tapi sengaja berselingkuh,
Apakah kita tahu?
Ketika Adam Air jatuh dan raib,
Itulah tandanya bahwa hati dan bathin (adam) kita sirna,
Apakah kita tahu?
Ketika Senopati Nusantara tenggelam tak berbekas,
Itulah tandanya bahwa musnahnya jiwa kepemimpinan nusantara,
Apakah kita tahu?
Ketika Garuda jatuh terbakar,
Itulah tandanya bahwa Pancasila telah tumbang di negeri ini,
Apakah kita tahu?
Ketika bencana bersahutan menerpa bumi ini,
Itulah tandanya bahwa pasukan sapu jagad (sirrullah) tengah bersiap,
Melibas orang-orang ingkar dan munafik,
Apakah kita tahu?
Ketika semburan lumpur Porong tak jua usai,
Itulah tandanya bahwa “seseorang” tengah dinanti,
Aulia pilihan dan kekasih Allah,
Sang Satria Pinandhita Sinisihan Wahyu,
Siapa lagi kalau bukan Sang Pamomong Nuswantoro,
Telah terlihat Parikesit dibawah asuhan Abiyasa,
Tak lama lagi,
Akan datang Gajah Mada muda,
Dengan ruh Bhinneka Tunggal Ika,
Kokoh berpijak laksana Garuda Kencana,
Dengan menghunus Naga Runting,
Kembali bersumpah, mengucap Hamukti Palapa,
“Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa,”
Berdua datang bak Musa dan Harun,
Itulah Sabdo Palon dan Noyo Genggong.

Baca Selengkapnya......

Menelisik Misteri Sabdo Palon


Dalam upaya menelisik misteri siapa sejatinya Sabdo Palon, saya mengawali dengan mengkaji Serat Darmagandhul dan ramalan Sabdo Palon. Di sini tidak akan dipersoalkan siapa yang membuat karya-karya tersebut untuk tidak menimbulkan banyak perdebatan. Karena penjelasan secara akal penalaran amatlah rumit, namun dengan pendekatan spiritual dapatlah ditarik benang merahnya yang akan membawa kepada satu titik terang. Dan ini akhirnya dapat dirunut secara logika historis.


Menarik memang di dalam mencari jawab tentang siapakah Sabdo Palon ? Karena kata Sabdo Palon Noyo Genggong sebagai penasehat spiritual Prabu Brawijaya V ( memerintah tahun 1453 – 1478 ) tidak hanya dapat ditemui di dalam Serat Darmagandhul saja, namun di dalam bait-bait terakhir ramalan Joyoboyo (1135 – 1157) juga telah disebut-sebut, yaitu bait 164 dan 173 yang menggambarkan tentang sosok Putra Betara Indra sbb :

164.
…; mumpuni sakabehing laku; nugel tanah Jawa kaping pindho; ngerahake jin setan; kumara prewangan, para lelembut ke bawah perintah saeko proyo kinen ambantu manungso Jawa padha asesanti trisula weda; landhepe triniji suci; bener, jejeg, jujur; kadherekake Sabdopalon lan Noyogenggong.
(…; menguasai seluruh ajaran (ngelmu); memotong tanah Jawa kedua kali; mengerahkan jin dan setan; seluruh makhluk halus berada di bawah perintahnya bersatu padu membantu manusia Jawa berpedoman pada trisula weda; tajamnya tritunggal nan suci; benar, lurus, jujur; didampingi Sabdopalon dan Noyogenggong)

173.
nglurug tanpa bala; yen menang tan ngasorake liyan; para kawula padha suka-suka; marga adiling pangeran wus teka; ratune nyembah kawula; angagem trisula wedha; para pandhita hiya padha muja; hiya iku momongane kaki Sabdopalon; sing wis adu wirang nanging kondhang; genaha kacetha kanthi njingglang; nora ana wong ngresula kurang; hiya iku tandane kalabendu wis minger; centi wektu jejering kalamukti; andayani indering jagad raya; padha asung bhekti.
(menyerang tanpa pasukan; bila menang tak menghina yang lain; rakyat bersuka ria; karena keadilan Yang Kuasa telah tiba; raja menyembah rakyat; bersenjatakan trisula wedha; para pendeta juga pada memuja; itulah asuhannya Sabdopalon; yang sudah menanggung malu tetapi termasyhur; segalanya tampak terang benderang; tak ada yang mengeluh kekurangan; itulah tanda zaman kalabendu telah usai; berganti zaman penuh kemuliaan; memperkokoh tatanan jagad raya; semuanya menaruh rasa hormat yang tinggi)

Serat Darmagandhul
Memahami Serat Darmagandhul dan karya-karya leluhur kita dibutuhkan kearifan dan netralitas yang tinggi, karena mengandung nilai kawruh Jawa yang sangat tinggi. Jika belum matang beragama maka akan muncul sentimen terhadap agama lain. Tentu ini tidak kita kehendaki. Tiada maksud lain dari saya kecuali hanya ingin mengungkap fakta dan membedah warisan leluhur dari pendekatan spiritual dan historis.

Dalam serat Dharmagandhul ini saya hanya ingin menyoroti ucapan-ucapan penting pada pertemuan antara Sunan Kalijaga, Prabu Brawijaya dan Sabdo Palon di Blambangan. Pertemuan ini terjadi ketika Sunan Kalijaga mencari dan menemukan Prabu Brawijaya yang tengah lari ke Blambangan untuk meminta bantuan bala tentara dari kerajaan di Bali dan Cina untuk memukul balik serangan putranya, Raden Patah yang telah menghancurkan Majapahit. Namun hal ini bisa dicegah oleh Sunan Kalijaga dan akhirnya Prabu Brawijaya masuk agama Islam. Karena Sabdo Palon tidak bersedia masuk agama Islam atas ajakan Prabu Brawijaya, maka mereka berpisah. Sebelum perpisahan terjadi ada baiknya kita cermati ucapan-ucapan berikut ini :

Sabdo Palon :
“Paduka sampun kêlajêng kêlorob, karsa dados jawan, irib-iriban, rêmên manut nunut-nunut, tanpa guna kula êmong, kula wirang dhatêng bumi langit, wirang momong tiyang cabluk, kula badhe pados momongan ingkang mripat satunggal, botên rêmên momong paduka. … Manawi paduka botên pitados, kang kasêbut ing pikêkah Jawi, nama Manik Maya, punika kula, ingkang jasa kawah wedang sanginggiling rêdi rêdi Mahmeru punika sadaya kula, …”
(“Paduka sudah terlanjur terperosok, mau jadi orang jawan (kehilangan jawa-nya), kearab-araban, hanya ikut-ikutan, tidak ada gunanya saya asuh, saya malu kepada bumi dan langit, malu mengasuh orang tolol, saya mau mencari asuhan yang bermata satu (memiliki prinsip/aqidah yang kuat), tidak senang mengasuh paduka. … Kalau paduka tidak percaya, yang disebut dalam ajaran Jawa, nama Manik Maya (Semar) itu saya, yang membuat kawah air panas di atas gunung itu semua adalah saya, …”)

Ucapan Sabdo Palon ini menyatakan bahwa dia sangat malu kepada bumi dan langit dengan keputusan Prabu Brawijaya masuk agama Islam. Gambaran ini telah diungkapkan Joyoboyo pada bait 173 yang berbunyi :
“…, hiya iku momongane kaki Sabdopalon; sing wis adu wirang nanging kondhang; …”
(“…, itulah asuhannya Sabdopalon; yang sudah menanggung malu tetapi termasyhur; …”). Dalam ucapan ini pula Sabdo Palon menegaskan bahwa dirinyalah sebenarnya yang dikatakan dalam kawruh Jawa dengan apa yang dikenal sebagai “Manik Maya” atau “Semar”.

“Sabdapalon matur yen arêp misah, barêng didangu lungane mênyang ngêndi, ature ora lunga, nanging ora manggon ing kono, mung nêtêpi jênênge Sêmar, nglimputi salire wujud, anglela kalingan padhang. …..”
(“ Sabdo Palon menyatakan akan berpisah, begitu ditanya perginya kemana, jawabnya tidak pergi, akan tetapi tidak bertempat di situ, hanya menetapkan namanya Semar, yang meliputi segala wujud, membuatnya samar. …..”)

Sekali lagi dalam ucapan ini Sabdo Palon menegaskan bahwa dirinyalah yang bernama Semar. Bagi orang Jawa yang berpegang pada kawruh Jawa pastilah memahami tentang apa dan bagaimana Semar. Secara ringkas dapat dijelaskan bahwa Semar adalah merupakan utusan gaib Gusti Kang Murbeng Dumadi (Tuhan Yang Maha Kuasa) untuk melaksanakan tugas agar manusia selalu menyembah dan bertaqwa kepada Tuhan, selalu bersyukur dan eling serta berjalan pada jalan kebaikan. Sebelum manusia mengenal agama, keberadaan Semar telah ada di muka bumi. Beliau mendapat tugas khusus dari Gusti Kang Murbeng Dumadi untuk menjaga dan memelihara bumi Nusantara khususnya, dan jagad raya pada umumnya. Perhatikan ungkapan Sabdo Palon berikut ini :

Sabdapalon ature sêndhu: “Kula niki Ratu Dhang Hyang sing rumêksa tanah Jawa. Sintên ingkang jumênêng Nata, dados momongan kula. Wiwit saking lêluhur paduka rumiyin, Sang Wiku Manumanasa, Sakutrêm lan Bambang Sakri, run-tumurun ngantos dumugi sapriki, kula momong pikukuh lajêr Jawi, …..
….., dumugi sapriki umur-kula sampun 2.000 langkung 3 taun, momong lajêr Jawi, botên wontên ingkang ewah agamanipun, …..”
(Sabdo Palon berkata sedih: “Hamba ini Ratu Dhang Hyang yang menjaga tanah Jawa. Siapa yang bertahta, menjadi asuhan hamba. Mulai dari leluhur paduka dahulu, Sang Wiku Manumanasa, Sakutrem dan Bambang Sakri, turun temurun sampai sekarang, hamba mengasuh keturunan raja-raja Jawa, …..
….., sampai sekarang ini usia hamba sudah 2.000 lebih 3 tahun dalam mengasuh raja-raja Jawa, tidak ada yang berubah agamanya, …..”)

Ungkapan di atas menyatakan bahwa Sabdo Palon (Semar) telah ada di bumi Nusantara ini bahkan 525 tahun sebelum masehi jika dihitung dari berakhirnya kekuasaan Prabu Brawijaya pada tahun 1478. Saat ini di tahun 2007, berarti usia Sabdo Palon telah mencapai 2.532 tahun. Setidaknya perhitungan usia tersebut dapat memberikan gambaran kepada kita, walaupun angka-angka yang menunjuk masa di dalam wasiat leluhur sangat toleransif sifatnya. Di kalangan spiritualis Jawa pada umumnya, keberadaan Semar diyakini berupa “suara tanpa rupa”. Namun secara khusus bagi yang memahami lebih dalam lagi, keberadaan Semar diyakini dengan istilah “mencolo putro, mencolo putri”, artinya dapat mewujud dan menyamar sebagai manusia biasa dalam wujud berlainan di setiap masa. Namun dalam perwujudannya sebagai manusia tetap mencirikan karakter Semar sebagai sosok “Begawan atau Pandhita”. Hal ini dapat dipahami karena dalam kawruh Jawa dikenal adanya konsep “menitis” dan “Cokro Manggilingan”.

Dari apa yang telah disinggung di atas, kita telah sedikit memahami bahwa Sabdo Palon sebagai pembimbing spiritual Prabu Brawijaya merupakan sosok Semar yang nyata. Menurut Sabdo Palon dalam ungkapannya dikatakan :

“…, paduka punapa kêkilapan dhatêng nama kula Sabdapalon? Sabda têgêsipun pamuwus, Palon: pikukuh kandhang. Naya têgêsipun ulat, Genggong: langgêng botên ewah. Dados wicantên-kula punika, kenging kangge pikêkah ulat pasêmoning tanah Jawi, langgêng salaminipun.”
(“…, apakah paduka lupa terhadap nama saya Sabdo Palon? Sabda artinya kata-kata, Palon adalah kayu pengancing kandang, Naya artinya pandangan, Genggong artinya langgeng tidak berubah. Jadi ucapan hamba itu berlaku sebagai pedoman hidup di tanah Jawa, langgeng selamanya.”)

Seperti halnya Semar telah banyak dikenal sebagai pamomong sejati yang selalu mengingatkan bilamana yang di”emong”nya salah jalan, salah berpikir atau salah dalam perbuatan, terlebih apabila melanggar ketentuan-ketentuan Tuhan Yang Maha Esa. Semar selalu memberikan piwulangnya untuk bagaimana berbudi pekerti luhur selagi hidup di dunia fana ini sebagai bekal untuk perjalanan panjang berikutnya nanti. Jadi Semar merupakan pamomong yang “tut wuri handayani”, menjadi tempat bertanya karena pengetahuan dan kemampuannya sangat luas, serta memiliki sifat yang bijaksana dan rendah hati juga waskitho (ngerti sakdurunge winarah). Semua yang disabdakan Semar tidak pernah berupa “perintah untuk melakukan” tetapi lebih kepada “bagaimana sebaiknya melakukan”. Semua keputusan yang akan diambil diserahkan semuanya kepada “tuan”nya. Semar atau Kaki Semar sendiri memiliki 110 nama, diantaranya adalah Ki Sabdopalon, Sang Hyang Ismoyo, Ki Bodronoyo, dan lain-lain.

Di dalam Serat Darmogandhul diceritakan episode perpisahan antara Sabdo Palon dengan Prabu Brawijaya karena perbedaan prinsip. Sebelum berpisah Sabdo Palon menyatakan kekecewaannya dengan sabda-sabda yang mengandung prediksi tentang sosok masa depan yang diharapkannya. Berikut ungkapan-ungkapan itu :

“….. Paduka yêktos, manawi sampun santun agami Islam, nilar agami Buddha, turun paduka tamtu apês, Jawi kantun jawan, Jawinipun ical, rêmên nunut bangsa sanes. Benjing tamtu dipunprentah dening tiyang Jawi ingkang mangrêti.”
(“….. Paduka perlu faham, jika sudah berganti agama Islam, meninggalkan agama Budha, keturunan Paduka akan celaka, Jawi (orang Jawa yang memahami kawruh Jawa) tinggal Jawan (kehilangan jati diri jawa-nya), Jawi-nya hilang, suka ikut-ikutan bangsa lain. Suatu saat tentu akan dipimpin oleh orang Jawa (Jawi) yang mengerti.”

“….. Sang Prabu diaturi ngyêktosi, ing besuk yen ana wong Jawa ajênêng tuwa, agêgaman kawruh, iya iku sing diêmong Sabdapalon, wong jawan arêp diwulang wêruha marang bênêr luput.”
(“….. Sang Prabu diminta memahami, suatu saat nanti kalau ada orang Jawa menggunakan nama tua (sepuh), berpegang pada kawruh Jawa, yaitulah yang diasuh oleh Sabda Palon, orang Jawan (yang telah kehilangan Jawa-nya) akan diajarkan agar bisa melihat benar salahnya.”)

Dari dua ungkapan di atas Sabdo Palon mengingatkan Prabu Brawijaya bahwa suatu ketika nanti akan ada orang Jawa yang memahami kawruh Jawa (tiyang Jawi) yang akan memimpin bumi nusantara ini. Juga dikatakan bahwa ada saat nanti datang orang Jawa asuhan Sabdo Palon yang memakai nama sepuh/tua (bisa jadi “mbah”, “aki”, ataupun “eyang”) yang memegang teguh kawruh Jawa akan mengajarkan dan memaparkan kebenaran dan kesalahan dari peristiwa yang terjadi saat itu dan akibat-akibatnya dalam waktu berjalan. Hal ini menyiratkan adanya dua sosok di dalam ungkapan Sabdo Palon tersebut yang merupakan sabda prediksi di masa mendatang, yaitu pemimpin yang diharapkan dan pembimbing spiritual (seorang pandhita). Ibarat Arjuna dan Semar atau juga Prabu Parikesit dan Begawan Abhiyasa. Lebih lanjut diceritakan :

“Sang Prabu karsane arêp ngrangkul Sabdapalon lan Nayagenggong, nanging wong loro mau banjur musna. Sang Prabu ngungun sarta nênggak waspa, wusana banjur ngandika marang Sunan Kalijaga: “Ing besuk nagara Blambangan salina jênêng nagara Banyuwangi, dadiya têngêr Sabdapalon ênggone bali marang tanah Jawa anggawa momongane. Dene samêngko Sabdapalon isih nglimput aneng tanah sabrang.”
(“Sang Prabu berkeinginan merangkul Sabdo Palon dan Nayagenggong, namun orang dua itu kemudian raib. Sang Prabu heran dan bingung kemudian berkata kepada Sunan Kalijaga : “Gantilah nama Blambangan menjadi Banyuwangi, jadikan ini sebagai tanda kembalinya Sabda Palon di tanah Jawa membawa asuhannya. Sekarang ini Sabdo Palon masih berkelana di tanah seberang.”)

Dari kalimat ini jelas menandakan bahwa Sabdo Palon dan Prabu Brawijaya berpisah di tempat yang sekarang bernama Banyuwangi. Tanah seberang yang dimaksud tidak lain tidak bukan adalah Pulau Bali. Untuk mengetahui lebih lanjut guna menguak misteri ini, ada baiknya kita kaji sedikit tentang Ramalan Sabdo Palon berikut ini.

Ramalan Sabdo Palon
Karena Sabdo Palon tidak berkenan berganti agama Islam, maka dalam naskah Ramalan Sabdo Palon ini diungkapkan sabdanya sbb :

3.
Sabda Palon matur sugal, “Yen kawula boten arsi, Ngrasuka agama Islam, Wit kula puniki yekti, Ratuning Dang Hyang Jawi, Momong marang anak putu, Sagung kang para Nata, Kang jurneneng Tanah Jawi, Wus pinasthi sayekti kula pisahan.
(Sabda Palon menjawab kasar: “Hamba tak mau masuk Islam Sang Prabu, sebab saya ini raja serta pembesar Dang Hyang se tanah Jawa. Saya ini yang membantu anak cucu serta para raja di tanah jawa. Sudah digaris kita harus berpisah.)

4.
Klawan Paduka sang Nata, Wangsul maring sunya ruri, Mung kula matur petungna, Ing benjang sakpungkur mami, Yen wus prapta kang wanci, Jangkep gangsal atus tahun, Wit ing dinten punika, Kula gantos kang agami, Gama Buda kula sebar tanah Jawa.
(Berpisah dengan Sang Prabu kembali ke asal mula saya. Namun Sang Prabu kami mohon dicatat. Kelak setelah 500 tahun saya akan mengganti agama Budha lagi (maksudnya Kawruh Budi), saya sebar seluruh tanah Jawa.)

5.
Sinten tan purun nganggeya, Yekti kula rusak sami, Sun sajekken putu kula, Berkasakan rupi-rupi, Dereng lega kang ati, Yen durung lebur atempur, Kula damel pratandha, Pratandha tembayan mami, Hardi Merapi yen wus njeblug mili lahar.
(Bila ada yang tidak mau memakai, akan saya hancurkan. Menjadi makanan jin setan dan lain-lainnya. Belum legalah hati saya bila belum saya hancur leburkan. Saya akan membuat tanda akan datangnya kata-kata saya ini. Bila kelak Gunung Merapi meletus dan memuntahkan laharnya.)

6.
Ngidul ngilen purugira, Ngganda banger ingkang warih, Nggih punika medal kula, Wus nyebar agama budi, Merapi janji mami, Anggereng jagad satuhu, Karsanireng Jawata, Sadaya gilir gumanti, Boten kenging kalamunta kaowahan.
(Lahar tersebut mengalir ke Barat Daya. Baunya tidak sedap. Itulah pertanda kalau saya datang. Sudah mulai menyebarkan agama Buda (Kawruh Budi). Kelak Merapi akan bergelegar. Itu sudah menjadi takdir Hyang Widi bahwa segalanya harus bergantian. Tidak dapat bila diubah lagi.)

7.
Sanget-sangeting sangsara, Kang tuwuh ing tanah Jawi, Sinengkalan tahunira, Lawon Sapta Ngesthi Aji, Upami nyabrang kali, Prapteng tengah-tengahipun, Kaline banjir bandhang, Jerone ngelebne jalmi, Kathah sirna manungsa prapteng pralaya.
(Kelak waktunya paling sengsara di tanah Jawa ini pada tahun: Lawon Sapta Ngesthi Aji. Umpama seorang menyeberang sungai sudah datang di tengah-tengah. Tiba-tiba sungainya banjir besar, dalamnya menghanyutkan manusia sehingga banyak yang meninggal dunia.)

8.
Bebaya ingkang tumeka, Warata sa Tanah Jawi, Ginawe kang paring gesang, Tan kenging dipun singgahi, Wit ing donya puniki, Wonten ing sakwasanipun, Sedaya pra Jawata, Kinarya amertandhani, Jagad iki yekti ana kang akarya.
(Bahaya yang mendatangi tersebar seluruh tanah Jawa. Itu sudah kehendak Tuhan tidak mungkin disingkiri lagi. Sebab dunia ini ada ditanganNya. Hal tersebut sebagai bukti bahwa sebenarnya dunia ini ada yang membuatnya.)
Dari bait-bait di atas dapatlah kita memahami bahwa Sabdo Palon menyatakan berpisah dengan Prabu Brawijaya kembali ke asal mulanya. Perlu kita tahu bahwa Semar adalah wujud manusia biasa titisan dewa Sang Hyang Ismoyo. Jadi ketika itu Sabdo Palon berencana untuk kembali ke asal mulanya adalah alam kahyangan (alam dewa-dewa), kembali sebagai wujud dewa, Sang Hyang Ismoyo. Lamanya pergi selama 500 tahun. Dan kemudian Sabdo Palon menyatakan janjinya akan datang kembali di bumi tanah Jawa (tataran nusantara) dengan tanda-tanda tertentu. Diungkapkannya tanda utama itu adalah muntahnya lahar gunung Merapi ke arah barat daya. Baunya tidak sedap. Dan juga kemudian diikuti bencana-bencana lainnya. Itulah tanda Sabdo Palon telah datang. Dalam dunia pewayangan keadaan ini dilambangkan dengan judul: “Semar Ngejawantah”.

Mari kita renungkan sesaat tentang kejadian muntahnya lahar gunung Merapi tahun lalu dimana untuk pertama kalinya ditetapkan tingkat statusnya menjadi yang tertinggi : “Awas Merapi”. Saat kejadian malam itu lahar merapi keluar bergerak ke arah “Barat Daya”. Pada hari itu tanggal 13 Mei 2006 adalah malam bulan purnama bertepatan dengan Hari Raya Waisyak (Budha) dan Hari Raya Kuningan (Hindu). Secara hakekat nama “Sabdo Palon Noyo Genggong” adalah simbol dua satuan yang menyatu, yaitu : Hindu – Budha (Syiwa Budha). Di dalam Islam dua satuan ini dilambangkan dengan dua kalimat Syahadat. Apabila angka tanggal, bulan dan tahun dijumlahkan, maka : 1 + 3 + 5 + 2 + 6 = 17 ( 1 + 7 = 8 ). Angka 17 kita kenal merupakan angka keramat. 17 merupakan jumlah raka’at sholat lima waktu di dalam syari’at Islam. 17 juga merupakan lambang hakekat dari “bumi sap pitu” dan “langit sap pitu” yang berasal dari Yang Satu, Allah SWT. Sedangkan angka 8 merupakan lambang delapan penjuru mata angin. Di Bali hal ini dilambangkan dengan apa yang kita kenal dengan “Sad Kahyangan Jagad”. Artinya dalam kejadian ini delapan kekuatan dewa-dewa menyatu, menyambut dan menghantarkan Sang Hyang Ismoyo (Sabdo Palon) untuk turun ke bumi. Di dalam kawruh Jawa, Sang Hyang Ismoyo adalah sosok dewa yang dihormati oleh seluruh dewa-dewa. Dan gunung Merapi di sini melambangkan hakekat tempat atau sarana turunnya dewa ke bumi (menitis).

Baca Selengkapnya......

Jalan Gajah Mada, Bandung


Sampai saat ini, di wilayah Bandung khususnya dan wilayah Sunda pada umumnya tidak pernah ada jalan atau gedung bernama Gajah Mada maupun nama lain yang berhubungan dengan kerajaan Majapahit. Hal ini mungkin terdengar kecil akan tetapi ada hikmah yang besar dari tidak digunakannya nama tersebut, padahal kebesaran nama Mahapatih Gajah Mada atau kerajaan Majapahit di Nusantara tidak diragukan lagi sejak jaman dahulu kala, jadi sudah selayaknya diberikan kehormatan dengan mengabadikan namanya.


Yang menjadi sebab tidak digunakannya nama Gajah Mada di wilayah Bandung/Sunda berawal dari cerita Perang Bubat, disini saya gunakan istilah cerita, bukan sejarah karena perang Bubat sendiri masih kontroversi dikalangan para ahli sejarah, kisah perang ini bersumber bukan dari sebuah catatan sejarah berupa prasasti atau lainnya, tetapi berdasarkan Kidung Sunda atau Kidung Sundayana yang di wilayah Bali lebih dikenal dengan Geguritan Sunda. Bahkan sampai saat ini pun, dalam penulisan cerita atau pun sejarah mengenai perang ini sangat “rasis”, dalam arti isi cerita tergantung dari sudut pandang si penulis sehingga “ego” kesukuan (sunda dan ataupun jawa) sangat berpengaruh.

Kejadian ini diawali suatu niat baik Maharaja Hayam Wuruk raja Majapahit, yang mempunyai maksud untuk memperistri Putri Dyah Pitaloka Citaresmi anak dari Maharaja Linggabuana raja kerajaan Sunda, keinginan tersebut muncul selain melihat kecantikan Putri Dyah Pitaloka yang beliau lihat dari lukisan, juga untuk mendekatkan kembali hubungan tali persaudaraan, berdasarkan garis keturunan Maharaja Hayam Wuruk merupakan keturunan sunda, karena Raden Wijaya sebagai pendiri kerajaan Majapahit adalah keturunan sunda, dan Raden Wijaya disebut pula Jaka Susuruh dari Padjajaran.

Niat baik Raja Hayam Wuruk ini disampaikan kepada kerajaan Sunda, namun tanggapan pertama yang muncul adalah pertentangan dari kalangan kerajaan Sunda khususnya dari mangkubuminya sendiri yaitu Hyang Bunisora Suradipati, karena tidak lazim dan bukan merupakan adat di Nusantara khusus Sunda, jika pihak pengantin perempuan yang datang kepada pihak pengantin laki-laki. Selain itu ada dugaan bahwa hal tersebut adalah jebakan diplomatik karena saat itu Majapahit sedang melebarkan kekuasaan. Dengan Sumpah Palapa nya Mahapatih Gajah Mada, hampir seluruh Nusantara dapat dikuasi oleh Majapahit, akan tetapi wilayah Kerajaan Sunda yang merupakan tetangga Majapahit tidak dapat dikuasai. Sebagai seorang raja yang bijaksana dan selalu berfikir positif, Maharaja Linggabuana memutuskan tetap berangkat ke Majapahit karena rasa persaudaraan yang sudah ada dari garis leluhur dua negara tersebut, rasa persaudaraannya tersebut telah menghilangkaan kecurigaannya.

Singkat cerita, waktu pernikahan pun tiba, pihak kerajaan Sunda menyiapkan rombongan iring-iringan perkawinan menuju kerajaan Majapahit. Layaknya rombongan iring-iringan perkawinan, rombongan ini pun tidak bersenjatakan lengkap, hanya sebatas persenjataan untuk perlindungan diperjalanan, dan hanya membawa pasukan pengawal Raja.

Niat baik tidak lah salalu ditanggapi dengan kebaikan pula, hal ini juga terjadi pada Maharaja Linggabuana dan Putri Dyah Pitaloka, niat baik kerajaan Sunda ditanggapi oleh Mahapatih Gajah Mada dengan nafsu menguasai wilayah Sunda untuk menjalankan Hamukti Palapa setelah mendengar kabar dari utusan Maharaja Linggabuana yang menyampaikan berita kedatangan rombongan dari kerajaan Sunda, maka dicarilah suatu alasan oleh Mahapatih Gajah Mada bahwa kedatangan tersebut dianggap sebagai tanda penyerahan diri kerajaan Sunda kepada Majapahit. Strategi licik tersebut dilakukan karena kerajaan Majapahit tidak sanggup menaklukan kekuasaan kerajaan Sunda dengan cara invasi.

Akhirnya Mahapatih Gajah Mada mendesak Maharaja Hayam Wuruk untuk menerima Putri Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin tetapi sebagai tanda takluk Negeri Sunda dan mengakui keunggulan Majapahit atas Sunda di Nusantara. Menanggapi pendapat yang diajukan oleh Mahapatih Gajah Mada, Maharaja Hayam Wuruk sendiri bimbang atas permasalah itu karena Gajah Mada adalah Mahapatih yang diandalkan Majapahit saat itu. Hal inilah yang menjadikan perselisihan sehingga utusan kerajaan Sunda marah besar dengan Mahapatih Gajah Mada sampai utusan kerajaan Sunda ini memaki-maki Mahapatih Gajah Mada, karena utusan kerajaan Sunda terkejut dengan ucapan Mahapatih Gajah Mada, bahwa rombongan Kerajaan Sunda datang bukan sebagai rombongan pengantin tetapi sebagai rombongan yang akan memberikan tanda takluk dan mengakui keunggulan kerajaan Majapahit bukan karena undangan seperti rencana sebelumnya.

Belum lagi Maharaja Hayam Wuruk memberikan keputusannya, Mahapatih Gajah Mada sudah tidak sabar menunggu keputusan Raja sehingga dengan inisiatif sendiri dalam memanfaat kesempatan yang muncul untuk menguasai kerajaan Sunda dengan mengirimkan pasukannya ke pesanggrahan Bubat.

Mahapatih Gajah Mada berserta pasukannya menekan dengan mengacam dan mengintimidasi Maharaja Linggabuana untuk mengakui atas keunggulan kerajaan Majapahit. Sebagai raja kerajaan Sunda sekaligus kesatria Sunda, Maharaja Linggabuana tidak takut sedikitpun dengan ancaman yang sampaikan oleh Mahapatih Gajah Mada beserta pasukan walaupun rombongannya tidak bersenjatakan lengkap, dan dengan tegas Maharaja Linggabuana menolak tekanan dari pasukan Mahapatih Gajah Mada.

Akhirnya peperangan tidak seimbang sudah tidak dapat terelakan kembali antara pasukan Mahapatih Gaja Mada dengan rombongan kerajaan Sunda yang hanya terdiri dari pasukan pengawal kerajaan yang berjumlah sedikit, beberapa pejabat, dan beberapa menteri. Peperangan ini merupakan ladang pembantaian bagi rombongan kerajaan Sunda.

Sebagai seorang kesatria wanita Putri Dyah Pitaloka pun ikut bertempur dalam mempertahankan harga diri bangsanya sampai titik darah penghabisan, dan dalam pertarungan melawan Mahapatih Gajah Mada, Putri Dyah Pitaloka berhasil melukai Mahapatih Gajah Mada dengan Keris Singa Barong berlekuk 13, keris leluhur Pasundan peninggalan pendiri kerajaan Tarumanegara yang bernama Prabu Jayasinga Warman. Luka yang diderita oleh Mahapatih Gajah Mada tidak dapat disembuhkan sampai beliau meninggal.

Kejadian di pesanggrahan Bubat tersebut, tidak menghasilkan keuntungan apapun, tidak sesuai dengan perkiraan semula Mahapatih Gajah Mada, bahkan sebaliknya hubungan antara Mahapatih Gajah Mada dengan Maharaja Hayam Wuruk menjadi renggang, dengan kesatria sebagai pertanggungjawaban atas kesalahannya Mahapatih Gajah Mada mengundurkan diri sebagai Mahapatih dan mengasingkan diri di sebuah desa yang sekarang bernama desa Mada dan beliau juga harus menderita luka akibat sabetan keris Putri Dyah Pitaloka, inilah akibat yang ditanggung oleh beliau dihari tuanya sampai akhir hayat akibat hawa nafsu yang beliau ikuti. Hubungan antara Kerajaan Majapahit dengan Kerajaan Sunda menjadi renggang bahkan sudah tidak dapat disatukan kembali, seperti kaca yang sudah pecah. Kerajaan Sunda sudah tidak mempercayai kembali pihak kerajaan Majapahit, walaupun Maharaja Hayam Wuruk telah mengirimkan wakilnya untuk menyampaikan permohonan maaf kepada Hyang Bunisora Suradipati mewakili pihak kerajaan Sunda. Sampai akhirnya kerajaan Sunda mengeluarkan peraturan kepada rakyatnya untuk tidak menikah dengan orang dari luar lingkunan kerabat sunda.

Sekitar kurang lebih 6 abad kejadian ini terjadi telah berlalu namun akibatnya sampai saat ini masih ada, hal ini bisa terlihat dari pakem perihal perjodohan yang masih banyak dipegang oleh sebagian para orang tua di Sunda dalam menentukan calon suami/istri untuk anak-anaknya. Kejadian ini pula menjadi luka yang tak tersebuhkan dihati orang Sunda, sampai mereka tidak sudi menggunakan nama Gajah Mada dalam kehidupan sehari-harinya seperti untuk nama jalan maupun gedung.

Mungkin jika luka yang digoreskan oleh Mahapatih Gajah Mada di hati masyarakat Sunda sudah sembuh, baru ada nama jalan Gajah Mada. Atau mungkin sudah saatnya masyarakat Sunda belajar memaafkan kejadian tersebut. Karena jika Maharaja Hayam Wuruk mengetahui bukan hanya beliau yang gagal menikah gara-gara tindakan Mahapatih Gajah Mada, akan tetapi ribuan pasang kekasih yang telah gagal atau mungkin akan gagal akibat kejadian tersebut dalam kurun waktu yang belum diketahui sampai kapan pakem itu berakhir, pasti Maharaja Hayam Wuruk akan mengambil keputusan tegas untuk melarang Mahapatih Gajah Mada melakukan tindakan yang tidak kesatria tersebut.


Wallahu a’lam…


Baca Selengkapnya......

Selasa, Juli 01, 2008

Puisi Tentang Anak

(KAHLIL GIBRAN)

Anakmu bukanlah milikmu,
mereka adalah putra putri sang Hidup,
yang rindu akan dirinya sendiri.

Mereka lahir lewat engkau,
tetapi bukan dari engkau,
mereka ada padamu, tetapi bukanlah milikmu.

Berikanlah mereka kasih sayangmu,
namun jangan sodorkan pemikiranmu,
sebab pada mereka ada alam pikiran tersendiri.


Patut kau berikan rumah bagi raganya,
namun tidak bagi jiwanya,
sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan,
yang tiada dapat kau kunjungi,
sekalipun dalam mimpimu.

Engkau boleh berusaha menyerupai mereka,
namun jangan membuat mereka menyerupaimu,
sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur,
ataupun tenggelam ke masa lampau.

Engkaulah busur asal anakmu,
anak panah hidup, melesat pergi.

Sang Pemanah membidik sasaran keabadian,
Dia merentangkanmu dengan kuasaNya,
hingga anak panah itu melesat jauh dan cepat.

Bersukacitalah dalam rentangan tangan Sang Pemanah,
sebab Dia mengasihi anak-anak panah yang melesat laksana kilat,
sebagaimana dikasihiNya pula busur yang mantap.



Baca Selengkapnya......

Sayap-Sayap Patah

(KAHLIL GIBRAN)

Namun, sekarangkah saatnya kehidupan akan memisahkan kita agar engkau bisa memperoleh keagungan seorang lelaki dan aku kewajiban seorang perempuan?

Untuk inikah maka lembah menelan nyanyian burung bul-bul ke dalam relung-relungnya, dan angin memporakporandakan daun-daun mahkota bunga mawar, dan kaki-kaki menginjak-injak piala anggur?

Sia-siakah segala malam yang kita lalui bersama dalam cahaya rembulan di bawah pohon melati, tempat dua jiwa kita menyatu?

Apakah kita terbang dengan gagah perkasa menuju bintang-bintang hingga lelap sayap-sayap kita, lalu sekarang kita turun ke dalam jurang?


Atau tidurkah cinta ketika ia mendatangi kita, lalu, ketika ia terbangun, menjadi marah dan memutuskan untuk menghukum kita?

Ataukah jiwa-jiwa kita mengubah angin malam yang sepoi menjadi angin ribut yang mengoyak-ngoyak kita menjadi berkeping-keping dan meniup kita bagai debu ke dasar lembah? Kita tak melanggar perintah apa pun; kita pun tak mencicipi buah terlarang; lalu apa yang memaksa kita meninggalkan sorga ini?

Kita tidak pernah berkomplot atau menggerakkan pemberontakan, lalu mengapa sekarang terjun ke neraka?

Tidak, tidak, saat-saat yang menyatukan kita lebih agung daripada abad-abad yang berlalu, dan cahaya yang menerang jiwa-jiwa kita lebih perkasa daripada kegelapan; dan jika sang prahara memisahkan kita di lautan yang buas ini, sang bayu akan menyatukan kita di pantai yang tenang, dan jika hidup ini membantai kita, maut akan menyatukan kita lagi.

Hati nurani seorang wanita tak berubah oleh waktu dan musim; bahkan jika mati abadi, hati itu takkan hilang murca. Hati seorang wanita laksana sebuah padang yang berubah jadi medan pertempuran; seudah pohon-pohon ditumbangkan dan rerumputan terbakar dan batu-batu karang memerah oleh darah dan bumi ditanami dengan tulang-tulang dan tengkorak-tengkorak, ia akan tenang dan diam seolah tak ada sesuatu pun terjadi karena musim semi dan musim gugur datang pada waktunya dan memulai pekerjaannya...



Baca Selengkapnya......