Kamis, Juli 10, 2008

Jalan Gajah Mada, Bandung


Sampai saat ini, di wilayah Bandung khususnya dan wilayah Sunda pada umumnya tidak pernah ada jalan atau gedung bernama Gajah Mada maupun nama lain yang berhubungan dengan kerajaan Majapahit. Hal ini mungkin terdengar kecil akan tetapi ada hikmah yang besar dari tidak digunakannya nama tersebut, padahal kebesaran nama Mahapatih Gajah Mada atau kerajaan Majapahit di Nusantara tidak diragukan lagi sejak jaman dahulu kala, jadi sudah selayaknya diberikan kehormatan dengan mengabadikan namanya.


Yang menjadi sebab tidak digunakannya nama Gajah Mada di wilayah Bandung/Sunda berawal dari cerita Perang Bubat, disini saya gunakan istilah cerita, bukan sejarah karena perang Bubat sendiri masih kontroversi dikalangan para ahli sejarah, kisah perang ini bersumber bukan dari sebuah catatan sejarah berupa prasasti atau lainnya, tetapi berdasarkan Kidung Sunda atau Kidung Sundayana yang di wilayah Bali lebih dikenal dengan Geguritan Sunda. Bahkan sampai saat ini pun, dalam penulisan cerita atau pun sejarah mengenai perang ini sangat “rasis”, dalam arti isi cerita tergantung dari sudut pandang si penulis sehingga “ego” kesukuan (sunda dan ataupun jawa) sangat berpengaruh.

Kejadian ini diawali suatu niat baik Maharaja Hayam Wuruk raja Majapahit, yang mempunyai maksud untuk memperistri Putri Dyah Pitaloka Citaresmi anak dari Maharaja Linggabuana raja kerajaan Sunda, keinginan tersebut muncul selain melihat kecantikan Putri Dyah Pitaloka yang beliau lihat dari lukisan, juga untuk mendekatkan kembali hubungan tali persaudaraan, berdasarkan garis keturunan Maharaja Hayam Wuruk merupakan keturunan sunda, karena Raden Wijaya sebagai pendiri kerajaan Majapahit adalah keturunan sunda, dan Raden Wijaya disebut pula Jaka Susuruh dari Padjajaran.

Niat baik Raja Hayam Wuruk ini disampaikan kepada kerajaan Sunda, namun tanggapan pertama yang muncul adalah pertentangan dari kalangan kerajaan Sunda khususnya dari mangkubuminya sendiri yaitu Hyang Bunisora Suradipati, karena tidak lazim dan bukan merupakan adat di Nusantara khusus Sunda, jika pihak pengantin perempuan yang datang kepada pihak pengantin laki-laki. Selain itu ada dugaan bahwa hal tersebut adalah jebakan diplomatik karena saat itu Majapahit sedang melebarkan kekuasaan. Dengan Sumpah Palapa nya Mahapatih Gajah Mada, hampir seluruh Nusantara dapat dikuasi oleh Majapahit, akan tetapi wilayah Kerajaan Sunda yang merupakan tetangga Majapahit tidak dapat dikuasai. Sebagai seorang raja yang bijaksana dan selalu berfikir positif, Maharaja Linggabuana memutuskan tetap berangkat ke Majapahit karena rasa persaudaraan yang sudah ada dari garis leluhur dua negara tersebut, rasa persaudaraannya tersebut telah menghilangkaan kecurigaannya.

Singkat cerita, waktu pernikahan pun tiba, pihak kerajaan Sunda menyiapkan rombongan iring-iringan perkawinan menuju kerajaan Majapahit. Layaknya rombongan iring-iringan perkawinan, rombongan ini pun tidak bersenjatakan lengkap, hanya sebatas persenjataan untuk perlindungan diperjalanan, dan hanya membawa pasukan pengawal Raja.

Niat baik tidak lah salalu ditanggapi dengan kebaikan pula, hal ini juga terjadi pada Maharaja Linggabuana dan Putri Dyah Pitaloka, niat baik kerajaan Sunda ditanggapi oleh Mahapatih Gajah Mada dengan nafsu menguasai wilayah Sunda untuk menjalankan Hamukti Palapa setelah mendengar kabar dari utusan Maharaja Linggabuana yang menyampaikan berita kedatangan rombongan dari kerajaan Sunda, maka dicarilah suatu alasan oleh Mahapatih Gajah Mada bahwa kedatangan tersebut dianggap sebagai tanda penyerahan diri kerajaan Sunda kepada Majapahit. Strategi licik tersebut dilakukan karena kerajaan Majapahit tidak sanggup menaklukan kekuasaan kerajaan Sunda dengan cara invasi.

Akhirnya Mahapatih Gajah Mada mendesak Maharaja Hayam Wuruk untuk menerima Putri Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin tetapi sebagai tanda takluk Negeri Sunda dan mengakui keunggulan Majapahit atas Sunda di Nusantara. Menanggapi pendapat yang diajukan oleh Mahapatih Gajah Mada, Maharaja Hayam Wuruk sendiri bimbang atas permasalah itu karena Gajah Mada adalah Mahapatih yang diandalkan Majapahit saat itu. Hal inilah yang menjadikan perselisihan sehingga utusan kerajaan Sunda marah besar dengan Mahapatih Gajah Mada sampai utusan kerajaan Sunda ini memaki-maki Mahapatih Gajah Mada, karena utusan kerajaan Sunda terkejut dengan ucapan Mahapatih Gajah Mada, bahwa rombongan Kerajaan Sunda datang bukan sebagai rombongan pengantin tetapi sebagai rombongan yang akan memberikan tanda takluk dan mengakui keunggulan kerajaan Majapahit bukan karena undangan seperti rencana sebelumnya.

Belum lagi Maharaja Hayam Wuruk memberikan keputusannya, Mahapatih Gajah Mada sudah tidak sabar menunggu keputusan Raja sehingga dengan inisiatif sendiri dalam memanfaat kesempatan yang muncul untuk menguasai kerajaan Sunda dengan mengirimkan pasukannya ke pesanggrahan Bubat.

Mahapatih Gajah Mada berserta pasukannya menekan dengan mengacam dan mengintimidasi Maharaja Linggabuana untuk mengakui atas keunggulan kerajaan Majapahit. Sebagai raja kerajaan Sunda sekaligus kesatria Sunda, Maharaja Linggabuana tidak takut sedikitpun dengan ancaman yang sampaikan oleh Mahapatih Gajah Mada beserta pasukan walaupun rombongannya tidak bersenjatakan lengkap, dan dengan tegas Maharaja Linggabuana menolak tekanan dari pasukan Mahapatih Gajah Mada.

Akhirnya peperangan tidak seimbang sudah tidak dapat terelakan kembali antara pasukan Mahapatih Gaja Mada dengan rombongan kerajaan Sunda yang hanya terdiri dari pasukan pengawal kerajaan yang berjumlah sedikit, beberapa pejabat, dan beberapa menteri. Peperangan ini merupakan ladang pembantaian bagi rombongan kerajaan Sunda.

Sebagai seorang kesatria wanita Putri Dyah Pitaloka pun ikut bertempur dalam mempertahankan harga diri bangsanya sampai titik darah penghabisan, dan dalam pertarungan melawan Mahapatih Gajah Mada, Putri Dyah Pitaloka berhasil melukai Mahapatih Gajah Mada dengan Keris Singa Barong berlekuk 13, keris leluhur Pasundan peninggalan pendiri kerajaan Tarumanegara yang bernama Prabu Jayasinga Warman. Luka yang diderita oleh Mahapatih Gajah Mada tidak dapat disembuhkan sampai beliau meninggal.

Kejadian di pesanggrahan Bubat tersebut, tidak menghasilkan keuntungan apapun, tidak sesuai dengan perkiraan semula Mahapatih Gajah Mada, bahkan sebaliknya hubungan antara Mahapatih Gajah Mada dengan Maharaja Hayam Wuruk menjadi renggang, dengan kesatria sebagai pertanggungjawaban atas kesalahannya Mahapatih Gajah Mada mengundurkan diri sebagai Mahapatih dan mengasingkan diri di sebuah desa yang sekarang bernama desa Mada dan beliau juga harus menderita luka akibat sabetan keris Putri Dyah Pitaloka, inilah akibat yang ditanggung oleh beliau dihari tuanya sampai akhir hayat akibat hawa nafsu yang beliau ikuti. Hubungan antara Kerajaan Majapahit dengan Kerajaan Sunda menjadi renggang bahkan sudah tidak dapat disatukan kembali, seperti kaca yang sudah pecah. Kerajaan Sunda sudah tidak mempercayai kembali pihak kerajaan Majapahit, walaupun Maharaja Hayam Wuruk telah mengirimkan wakilnya untuk menyampaikan permohonan maaf kepada Hyang Bunisora Suradipati mewakili pihak kerajaan Sunda. Sampai akhirnya kerajaan Sunda mengeluarkan peraturan kepada rakyatnya untuk tidak menikah dengan orang dari luar lingkunan kerabat sunda.

Sekitar kurang lebih 6 abad kejadian ini terjadi telah berlalu namun akibatnya sampai saat ini masih ada, hal ini bisa terlihat dari pakem perihal perjodohan yang masih banyak dipegang oleh sebagian para orang tua di Sunda dalam menentukan calon suami/istri untuk anak-anaknya. Kejadian ini pula menjadi luka yang tak tersebuhkan dihati orang Sunda, sampai mereka tidak sudi menggunakan nama Gajah Mada dalam kehidupan sehari-harinya seperti untuk nama jalan maupun gedung.

Mungkin jika luka yang digoreskan oleh Mahapatih Gajah Mada di hati masyarakat Sunda sudah sembuh, baru ada nama jalan Gajah Mada. Atau mungkin sudah saatnya masyarakat Sunda belajar memaafkan kejadian tersebut. Karena jika Maharaja Hayam Wuruk mengetahui bukan hanya beliau yang gagal menikah gara-gara tindakan Mahapatih Gajah Mada, akan tetapi ribuan pasang kekasih yang telah gagal atau mungkin akan gagal akibat kejadian tersebut dalam kurun waktu yang belum diketahui sampai kapan pakem itu berakhir, pasti Maharaja Hayam Wuruk akan mengambil keputusan tegas untuk melarang Mahapatih Gajah Mada melakukan tindakan yang tidak kesatria tersebut.


Wallahu a’lam…


Tidak ada komentar: